IkadiDIY.com

PENGANTAR FIKIH THAHARAH

PENGANTAR FIKIH THAHARAH

HM.Sulkhan Zainuri, Lc, M.A.

 

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah, Dzat yang mengatur alam semesta. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabiyullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memandu kita dengan sunnah-sunnahnya.

 

Thaharah (bersuci) merupakan salah satu bukti kesempurnaan ajaran Islam, di mana Allah mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa bersuci dalam berbagai keadaan, sebagaimana Firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 222:

 

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.s. Al-Baqarah: 222).

 

Demikian juga hadis Rasulullah Sallallahu ’alaihi wa sallam:

 

الطَّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْمَانِ…

“Kesucian itu separuh dari Iman.” (H.r. Muslim).

 

Urgensi Thaharah

Disyariatkannya thaharah dalam ajaran Islam merupakan bukti kesesuaian Islam dengan fitrah manusia, di mana manusia menurut fitrahnya menyukai kebersihan dan keindahan. Hal ini bisa kita lihat di negara maju, seperti Singapura maupun Jepang, yang sangat memperhatikan upaya untuk menjaga kebersihan.

 

Dalam ajaran Islam, thaharah mencakup dua aspek, yaitu kebersihan batin dan kebersihan lahir. Kebersihan batin adalah bersihnya manusia dari perilaku yang tidak terpuji dan terjaga kesucian niatnya ketika melakukan suatu perbuatan. Sedangkan kebersihan lahir adalah bersihnya jasmani dari hadats dan najis. Hadats adalah keluarnya sesuatu, baik dari qubul maupun dubur. Sedangkan najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat dan menjadikan tidak sahnya ibadah shalat dan ibadah lain yang disyaratkan kesucian badan, pakaian dan tempat seperti thawaf. Diantara yang termasuk najis adalah kotoran manusia, air seni, darah, nanah, muntah dan kotoran binatang yang dagingnya haram untuk dimakan.

 

Hikmah Thaharah

Terdapat beberapa hikmah yang bisa digali dari syariat thaharah dalam Islam, di antaranya:

 

Pertama, bersuci merupakan pengakuan ajaran Islam terhadap fitrah yang dimiliki manusia. Secara naluri alamiah manusia mempunyai keinginan untuk hidup bersih dalam aktivitas hariannya dan berusaha menghindari sesuatu yang jorok atau kotor. Islam sebagai syariat yang selaras dengan fitrah manusia menguatkan naluri tersebut dengan menjadikan aktivitas bersuci sebagai bagian dari ajaran yang harus dilaksankan oleh umatnya.

 

Kedua, menjaga kebersihan dan kesucian artinya sama dengan menjaga kemuliaan dan kewibawaan umat Islam, karena Allah tidak menginginkan umatnya tersingkir dari pergaulan umat manusia. Sangat disayangkan, pada kenyataannya tidak mudah menyadarkan umat untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian dalam setiap kondisi.

 

Cara Berthaharah

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bersuci dalam Islam dilakukan dari dua hal, yaitu dari hadats dan najis. Bersuci dari hadats bisa dilakukan dengan beberapa cara:

 

Pertama, bersuci dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan untuk berwudhu. Hal ini dilakukan ketika seseorang dalam keadaan ber-hadats kecil. Allah menjelaskan secara lengkap cara bersuci dari hadats kecil dalam firman-Nya pada surah Al-Ma`idah ayat 6:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ…

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.s. Al-Ma`idah: 6).

 

Kedua, bersuci dengan air untuk mandi karena adanya hadats besar. Sebagaimana dalam lanjutan firman Allah pada ayat Al-Ma`idah di atas:

 

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا…

…dan jika kamu junub maka mandilah. (Q.s. Al-Ma`idah: 6).

 

Ketiga, bersuci dengan debu untuk mengganti wudhu dan mandi ketika tidak ada air atau tidak bisa menggunakan air.

 

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Q.s. Al-Ma`idah: 6).

 

Bersuci dari najis dilakukan untuk menghilangkan najis yang menempel di badan, tempat atau pakaian dengan menggunakan air yang suci. Dalam Islam, bersuci setelah buang air besar maupun kecil hukumnya wajib. Selain menggunakan air, bersuci dari buang air bisa dilakukan juga dengan benda-benda yang bersih, seperti batu dan sejenisnya, dengan syarat minimal tiga buah dan bukan benda yang dilarang digunakan untuk bersuci, seperti kotoran binatang yang kering dan tulang. Seluruh ulama menyepakati bolehnya bersuci dengan batu walaupun ada air.

 

Dalil syariat bersuci dengan batu di antaranya adalah sabda Nabi:

 

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ، وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِر

”Barang siapa berwudhu hendaknya dia melakukan istinysar (menghirup air ke hidung), dan barang siapa yang bersuci dengan batu maka hendaknya ia mengganjilkan.” (H.r. Muslim).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *