Assalamualaikum.
Ustadz, afwan mau bertanya tentang ikhlas. Baru saja saya membaca buku Imam al-Ghazali tentang niat di buku al-’Arbain fi Ushuliddin. Di sana dijelaskan bahwa niat seseorang terkadang karena Allah, atau karena selain Allah. Seperti orang menjenguk orang sakit. Ada yang melakukannya karena Allah, tapi ada juga yang berniat agar suatu saat kalau dia sakit, dia juga akan dijenguk. Kata Imam al-Ghazali, niat yang kedua tadi menggugurkan keikhlasan, karena tidak murni karena Allah.
Nah pertanyaan saya, kalau dalam beribadah atau beramal niat kita beramal itu karena diperintah, apakah itu termasuk keikhlasan bukan Ustadz? Misalnya kalau ditanya, kenapa kamu salat? Ya karena diperintah oleh Allah atau Nabi Muhammad. Kenapa kamu haji? Ya karena disuruh Allah atau Nabi Muhammad. Yang seperti ini apakah termasuk ikhlas dalam beramal?
Pertanyaan yang kedua; jika niat kita karena disuruh oleh makhluk (selain nabi Muhammad) itu bagaimana Ustadz? Misalnya, saya di kantor beramal membuat proposal dengan niat karena disuruh oleh atasan. Atau saya menghadiri sebuah rapat karena disuruh oleh atasan. Kalau yang pertama tadi niat karena disuruh Allah, kalau yang kedua ini niat beramal karena disuruh makhluk. Apakah niat ini juga termasuk keikhlasan atau malah menggugurkan keikhlasan Ustadz? Afwan, mohon pencerahan Ustadz. Syukran Katsiran.
Walaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Jawaban pertanyaan pertama:
Di antara definisi ikhlas yang disampaikan oleh para ulama adalah:
اَنْ يَقْصَدَ الْأَخُ الْمُسْلِمُ بِقَوْلِهِ وَعَمَلِهِ وَجِهَادِهِ كُلِّهِ وَجْهَ اللهِ وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِهِ وَحُسْنَ مَثُوْبَتِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ إِلىَ مَغْنَمٍ أَوْ مَظْهَرٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ لَقَبٍ أَوْ تَقَدُّمٍ أَوْ تَأَخُّرٍ
“Bahwa seorang Muslim meniatkan dengan perkataannya, perbuatannya dan jihadnya seluruhnya hanya untuk Wajah Allah, mengharap keridhaan-Nya dan kebaikan ganjaran-Nya, tanpa melihat kepada harta, kemasyhuran, kedudukan, pangkat, kemajuan atau kemunduran.”
Dengan definisi ini, maka yang disebut ikhlas jika seseorang berucap, melakukan perbuatan dan perjuangannya dalam rangka:
1. Mencari wajah Allah
2. Mencari ridha Allah
3. Mencari pahala Allah
Sebaliknya, tidak masuk kategori ikhlas jika beramal dalam rangka mencari:
1. Harta atau kekayaan
2. Kemasyhuran atau popularitas
3. Kedudukan atau jabatan
4. Pangkat atau gelar atau status sosial
5. Kemajuan atau kesuksesan
6. Kemunduran atau kegagalan
Maka, jika kita beramal karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, hal itu termasuk dalam kategori ikhlas, baik amalan tersebut terasa sangat berat maupun terasa ringan. Jika semua dijalankan dalam rangka menaati perintah Allah dan Rasul-Nya, tentu itu masuk dalam ikhlas. Kata kuncinya adalah: ketaaatan kepada Allah. Artinya, Allah dijadikan sebagai alasan mengapa ia melakukan perbuatan tersebut. Bukan karena alasan lain.
Perlu difahami juga bahwa merasa berat menjalankan perintah Allah tidak menafikan keikhlasan. Demikian juga sebaliknya. Bahwa kalau merasa ringan ketika melakukan perintah berarti ikhlas. Bukan seperti itu. Karena pada dasarnya, taklif atau beban syariat yang diperintahkan kepada manusia mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Secara natural, sebagian perintah merupakan amalan yang ringan untuk dilakukan, dan sebagian yang lain terasa berat. Oleh karena itu, jika amalan itu terasa berat, kita diperintahkan untuk bersabar menjalankannya.
Contohnya, perang adalah sesuatu yang berat dan banyak yang enggan untuk berangkat perang. Allah SWT berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.s. Al-Baqarah: 216)
Maka beramal dalam rangka menjalankan perintah Allah dan Rasul-nya walaupun terasa berat tetap masuk dalam kategori ikhlas. Karena dari awal dia melakukannya karena melaksanakan perintah Allah, bukan karena hal lain.
Walaupun demikian, sebagaimana keimanan itu bertingkat-tingkat, kualitas amalan juga bertingkat-tingkat, demikian juga keikhlasan. Maka ada orang yang mampu mencapai keikhlasan yang lebih tinggi dari kebanyakan orang. Misalnya orang yang beribadah murni karena cintanya yang besar kepada Allah. Dia sama sekali tidak berpikir tentang balasan dan surga. Yang menjadi tujuaannya hanya ingin berbakti kepada Dzat yang sangat dicintainya. Hal ini tentu lebih tinggi dan lebih utama dari dari bentuk keikhlasan yang kita sebutkan diatas.
Jawaban pertanyaan kedua:
Allah telah memerintahkan umat Islam dalam kondisi tertentu untuk taat kepada makhluk lain. Diantaranya:
1. Seorang anak wajib taat kepada orangtua
2. Seorang istri wajib taat kepada suami
3. Seorang budak wajib taat kepada tuannya
4. Seorang anggota wajib taat kepada pemimpinnya
5. Seorang warganegara wajib taat kepada pemerintah.
Semua itu, tentu saja dengan catatan: “Menjalankan perintah manusia tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah Swt.”. Rasulullah saw. bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, ketika kita taat kepada atasan kita di kantor sebenarnya dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena kita diperintahkan untuk taat kepada pemimpin kita. Sebagaimana kita taat kepada orangtua, karena Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk taat kepada mereka.
Maka dengan melihat dari sisi ini, apa yang kita lakukan di kantor dengan melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan oleh atasan adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Dan ketaatan kepada Allah adalah bentuk keikhlasan dalam beramal. Dengan syarat bahwa hal yang dilakukan tersebut tidak melanggar aturan Allah SWT.
Dari sisi yang lain, jika seseorang bekerja di kantor secara profesional dengan niat agar mendapatkan pendapatan yang halal agar bisa dia gunakan untuk memberi nafkah kepada keluarganya, maka ini juga bentuk ibadah yang dilakukan untuk mencari ridha Allah, dan hal itu juga bentuk amalan yang ikhlas.
Wallaahu a’lam Bish Shawab.
Dijawab oleh Ust. Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I