fbpx

IkadiDIY.com

ISLAMISASI DI BUMI NUSANTARA (Bagian 1)

ISLAMISASI DI BUMI NUSANTARA

(Bagian 1)

Oleh: Deden A. Herdiansyah

 

Para sejarawan telah banyak memaparkan pendapat dan teorinya tentang awal kedatangan Islam di tanah Nusantara. Namun, hingga saat ini persoalan tersebut masih menjadi diskursus yang belum mencapai kesepakatan final di kalangan para sejarawan; terutama pada tiga persoalan pokoknya, yaitu asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[1] Dalam persoalan ini para sejarawan sulit untuk sampai pada konsensus karena sedikitnya sumber-sumber tertulis. Adapun prasasti atau artefak yang berkaitan juga tidak cukup membantu untuk sampai pada kesimpulan bersama. Satu hal lagi yang menjadi pertimbangan adalah luasnya wilayah Nusantara serta ragam corak budaya dan karakter masyarakatnya yang berbeda-beda membuat semua teori yang diajukan sulit untuk digeneralisasi.

 

Kasus islamisasi di wilayah Nusantara memang berbeda dengan yang terjadi di beberapa wilayah lainnya. Salah satu perbedaannya yang menonjol adalah prosesnya yang tidak melalui jalan penaklukkan militer, dan perkembangannya yang berlangsung secara gradual. Para ahli telah bersepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan cara-cara yang damai; berbeda dengan yang terjadi di wilayah lainnya, seperti wilayah-wilayah di Jazirah Arab, Syam, Mesir, dan India yang mengalami islamisasi melalui kekuatan militer dan politik. Oleh sebab itu perkembangan Islam di Nusantara sejak kedatangan para pedagang Arab Muslim hingga berdirinya kerajaan-kerajaan Islam berjalan sangat lambat.

 

Menurut J. Noorduyn islamisasi di Nusantara merupakan sebuah proses yang lambat dalam jangka waktu yang sangat panjang, “a fenomenal de temps long”. Kasus ini menggambarkan pertumbuhan pengaruh Islam pada budaya dan masyarakat regional yang meliputi dampak, intensifikasi, dan perluasannya pada aspek sosial lain serta kehidupan pribadi sebuah masyarakat. Hal ini, menurut Noorduyn, merupakan perubahan budaya yang sangat panjang prosesnya. Dalam perjalanan sejarahnya proses islamisasi itu dimulai dari kontak pertama dengan orang-orang Muslim dari luar, kemudian pembentukan komunitas-komunitas Muslim di sebuah wilayah, hingga berkembangnya pengetahuan tentang Islam di wilayah-wilayah lainnya dan negeri tetangga.[2]

 

Sebelum berlanjut pada pandangan penulis tentang teori-teori masuknya Islam ke Nusantara, ada baiknya kita perhatikan kembali teori-teori tersebut agar dapat disimpulkan setelahnya. Terkait dengan tempat asal kedatangan Islam ke Nusantara ada teori yang menyatakan bahwa Islam yang sampai ke Nusantara berasal dari India. Pendapat ini dikemukakan oleh umumnya para ilmuwan dari Belanda, seperti Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette, Kern, Winstedt, Bousquette, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Meskipun mereka berpendapat yang sama mengenai asal kedatangan Islam di Nusantara, namun di antara mereka terdapat perbedaan pandangan mengenai dalil yang mendasari teorinya. Ada yang berdalil dengan persamaan madzhab—Syafi’i—antara India dan Nusantara, seperti yang dikemukakan oleh Pijnappel, sedangkan sisanya, kecuali Snouck, mendasari pendapat mereka dengan adanya persamaan corak batu nisan yang ditemukan di Pasai dan Gresik dengan corak batu nisan Gujarat.

 

Teori lainnya dikemukakan oleh Marrison yang menyanggah teori sebelumnya. Dia berpendapat bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari India, tetapi dari Coromandel. Sejalan dengan Marrison, T.W. Arnold juga berpandangan bahwa asal Islam di Nusantara adalah Coromandel dan Malabar. Keduanya berdalil bahwa masyarakat Coromandel, Malabar dan Nusantara menganut madzhab yang sama dalam ritual ibadahnya, yaitu madzhab Syafi’i. Tetapi perlu dicatat pula bahwa Arnold berpendapat Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya asal kedatangan Islam, melainkan juga wilayah Arab.

 

Selain Arnold sejumlah ahli lain juga menyepakati teori yang mengemukakan kedatangan Islam di Nusantara berasal dari Arab. Mereka adalah Crawfurd, Niemann dan de Hollander. Demikian pula para ahli dari Indonesia bersepakat bahwa Islam di Nusantara berasal dari tanah Arab; sebagaimana yang telah mereka sepakati dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan pada tahun 1963 dan 1978 di Medan dan Banda Aceh.[3]

 

Semua ahli yang telah disebutkan di atas, meskipun memiliki perbedaan pendapat mengenai asal kedatangan Islam, tetapi sebagian besar mereka bersepakat dalam persoalan para pembawa Islam ke Nusantara. Mereka meyakini bahwa para pedagang adalah kelompok yang pertama kali membawa Islam ke tanah Nusantara dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakatnya. Namun, pendapat tersebut dibantah oleh Anthony Johns yang berpendapat bahwa para pembawa Islam adalah kaum sufi yang berasal dari tanah Arab. Pendapatnya itu dia kuatkan dengan sejumlah historiografi tradisional lokal yang umumnya menyebutkan wilayah Arab sebagai negeri asal kedatangan Islam dan kaum sufi sebagai pembawanya. Meskipun demikian nampaknya dia juga tidak menafikan peran perdagangan dan para pedagang dalam proses penyebaran Islam di Nusantara, sebagaimana yang dituliskannya:

 

Mereka adalah juru dakwah keliling yang merambah berbagai tempat di Nusantara yang dengan sukarela ikut merasakan kemelaratan; mereka sering dihubungkan dengan ikatan dagang atau kerajinan sesuai dengan tarekat yang mereka ikuti;[4]

 

Selain mengemukakan pandangannya mengenai asal kedatangan Islam dan para pembawanya, para ahli juga telah banyak memaparkan argumen mereka tentang waktu kedatangan Islam di Nusantara. Pada umumnya ada dua teori yang muncul di kalangan mereka; pertama teori yang meyakini masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7 Masehi. Kedua, teori yang meyakini masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Penganut teori yang pertama di antaranya adalah W.P. Groeneveldt, T.W. Arnold, Syed Naquib Al-Attas, George Faldo Hourani, J.C. van Leur, Hamka dan lainnya. Sedangkan penganut teori yang kedua di antaranya adalah C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, R.A. Kern, dan lainnya. Para penganut teori pertama pada umumnya mendasarkan teorinya pada catatan Tionghoa dari Dinasti Tang. Sedangkan penganut teori kedua mendasarkan teorinya pada penyerangan Baghdad oleh tentara Mongol pada tahun 1258, penemuan batu nisan Sultan Malik As-Saleh dan catatan Marcopolo.[5]

 

Demikian gambaran singkat diskursus mengenai seluk beluk kedatangan Islam di Nusantara. Pembahasan tentang tema tersebut tidak saya jelaskan secara mendalam, karena buku ini memang tidak dimaksudkan untuk membahas secara detail tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara atau mengulas kembali tema tersebut. Tidak pula dimaksudkan untuk membantah atau menguatkan salah satu teori di antara teori-teori yang telah dipaparkan secara panjang lebar oleh para ahli. Karena upaya semacam itu hanya menghasilkan langkah berputar-putar yang tidak ada ujungnya. Cukuplah diketahui bahwa terdapat beberapa teori dari beberapa ahli yang mendasarkan pendapatnya pada sumber-sumber historis, baik berupa catatan, artefak maupun peninggalan budaya keagamaan.

 

 

[1] Azyumardi Azra, Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 24.

[2] J. Noorduyn, Makasar and Islamization of Bima, dalam Bijdragen tot de Taal- en Volkenkunde 143 (1987), no: 2/3, Leiden, hlm. 313.

[3] Lihat A. Hasymy (ed). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 6-14.

[4] A.H. Johns, Sufism as a Category in Indonesian Literature and History, Journal of Southeast Asia History, 2-2: 15.

[5] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi …, hlm. 12-13.

Tinggalkan Komentar