fbpx

IkadiDIY.com

AL-QUR`AN DAN TRADISI LITERASI

Al-Qur`an dan Tradisi Literasi

Oleh: Deden A. Herdiansyah

Hadirnya Islam telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat Arab. Perubahan itu meliputi hampir semua aspek kehidupan, baik aspek sosial, budaya, politik, maupun agama. Belum pernah terjadi sebelumnya masyarakat penunggang unta itu mengalami sebuah lompatan peradaban yang melambung tinggi. Dalam waktu yang relatif singkat mereka memasuki sebuah era baru pengetahuan yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan; iqra` bismi Rabbika alladzi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan).

Di antara perubahan yang dapat dilihat dari masyarakat Arab setelah hadirnya Islam adalah berkembangnya tradisi literasi dalam kehidupan mereka. Sebab, sejak turunnya wahyu yang pertama Islam telah memberikan spirit terhadap hal tersebut. Surah Al-’Alaq ayat 1-5, sebagai ayat-ayat yang pertama kali diturunkan, telah menyebutkan kata membaca dan menulis—meskipun kata menulis hanya disimbolkan dengan kata al-qalam (pena). Hal ini menandakan bahwa sejak awal kehadirannya, Islam telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap tradisi literasi ini.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.s. Al-’Alaq: 1-5).

Penyebutan kata membaca dalam wahyu yang pertama kali diturunkan menunjukkan pentingnya aktivitas tersebut dalam kehidupan manusia. Dia bahkan mengawali seluruh perintah Allah dalam Al-Qur`an. Membaca semestinya menjadi awal dari gerak akal, hati dan tubuh. Tanpanya hidup akan kehilangan arah. Demikianlah yang dapat kita pahami dari hadirnya wahyu yang pertama.

Perintah membaca (iqra`) dalam ayat pertama dan ketiga surah Al-’Alaq tidak disertai dengan obyek yang harus dibaca setelah penyebutannya. Hal ini menunjukkan bahwa obyek yang dibaca bersifat umum, meliputi kitab suci yang diturunkan Allah, kitab-kitab yang ditulis oleh manusia, alam semesta yang diciptakan Allah, dan peradaban yang dibentuk oleh manusia. Pembacaan terhadap semua objek inilah yang kemudian membentuk ilmu dan pengetahuan pada diri manusia. Sedangkan dalam Islam muara dari semua ilmu adalah mengenal Allah (ma’rifatullah).

Islam tidak sekadar memerintahkan untuk membaca kepada umatnya agar mendapatkan ilmu sebagai kepemilikan pribadi. Namun, lebih dari itu Islam juga memerintahkan untuk mengajarkan ilmu yang telah dimiliki kepada orang lain. Salah satunya dengan cara menuliskannya agar dapat dibaca oleh orang lain. Isyarat tersebut kita dapati dalam ayat keempat dan kelima surah Al-’Alaq. Pada ayat tersebut Allah berfirman, “Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.

Tidak ada tulisan yang dapat menjadi pengetahuan tanpa dimulai dengan aktivitas membaca. Begitu pula aktivitas membaca tidak menjadi sempurna tanpa adanya tulisan. Sebab, sekadar membaca alam dan fenomena kehidupan tidaklah cukup. Demikianlah aktivitas membaca dan menulis saling terkait dengan sangat erat. Keduanya merupakan aktivitas intelektual dan spiritual yang menggerakan peradaban manusia. Di sinilah wahyu yang pertama memberikan landasan awal bagi kehidupan umat manusia.

Tentang aktivitas menulis sebenarnya selain terdapat dalam surah Al-’Alaq, disebutkan pula dalam surah Al-Qalam ayat pertama: “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis.” (Q.s. Al-Qalam: 1). Kata pena dalam surah Al-’Alaq maupun Al-Qalam berkaitan erat dengan aktivitas menulis, sebagaimana yang telah diterangkan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam kitab-kitab tafsirnya. Di antaranya seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili ketika menafsirkan surah Al-’Alaq ayat 4:

Allah mengajarkan manusia menulis dengan pena. Itu merupakan nikmat yang besar dari Allah dan perantara untuk saling memahami antara manusia sebagaimana halnya berkomunikasi dengan lisan. Seandainya tidak ada tulisan, pastilah ilmu-ilmu itu akan punah, agama tidak akan berbekas, kehidupan tidak akan baik, dan aturan tidak akan stabil. Tulisan merupakan pengikat ilmu pengetahuan dan sebagai instrumen untuk mencatat cerita dan perkataan orang-orang terdahulu. Demikian juga, tulisan merupakan instrumen peralihan ilmu antara suatu kaum dan bangsa. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat terlestarikan dan berkembang sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Peradaban suatu bangsa akan berkembang, pemikiran akan semakin canggih, agama dapat terjaga dan agama Allah akan semakin tersebar luas.[1]

Penafsiran Syaikh Wahbah Az-Zuhaili tersebut semakin menguatkan tentang peran tulisan dalam peradaban manusia. Dengan demikian Al-Qur`an telah memberikan informasi yang jelas tentang kedudukan tradisi literasi dalam upaya pembentukan peradaban. Ilmu adalah panglima dalam peradaban, sedangkan membaca dan menulis merupakan inti dalam aktivitas keilmuan.

Dalam wahyu-wahyu yang turun berikutnya, secara konsisten ajaran Islam terus mendukung upaya untuk mengembangkan tradisi literasi. Hal itu dibuktikan dengan adanya penyebutan beberapa kata yang berkaitan dengan aktivitas tulis menulis dalam beberapa ayat. Misalnya, Al-Qur`an menyebutkan kata raqq (kulit) dalam surah Ath-Thur ayat 3 yang berarti perkamen dari kulit binatang. Al-Qur`an juga menyebut kata qirthas atau qarathis (kertas) dalam surah Al-An’am ayat 7 dan 91. Kemudian Al-Qur`an juga menyebut kata shuhuf (lembaran-lembaran) dalam surah An-Najm ayat 36 dan Al-A’la ayat 18-19 yang artinya lembaran-lembaran tidak berjilid. Dan yang terakhir Al-Qur`an juga menyebutkan kata qalam (pena) dalam surah Al-’Alaq ayat 4 dan surah Al-Qalam ayat 1.[2]

Di masa Rasulullah tradisi menulis di kalangan umat Islam sudah dimulai dengan adanya aktivitas penulisan wahyu. Bahkan, sejak masa-masa awal dakwah Rasulullah di Mekah wahyu telah dituliskan oleh para shahabat pada berbagai media yang seadanya. Salah satu buktinya adalah pada peristiwa masuk Islamnya Umar bin Khaththab.

Saat itu Umar bin Khaththab mendatangi rumah adik perempuannya dengan marah, karena dia mendengar bahwa adiknya itu sudah menjadi pengikut ajaran Rasulullah. Sang adik, Fatimah binti Khaththab, saat itu sedang berada di rumahnya; mempelajari Al-Qur`an bersama suaminya dengan dibimbing oleh Khabbab bin Arts. Ketika Umar mengetuk pintu rumahnya, Fatimah benar-benar sangat terkejut. Kulit kertas bertulisan Al-Qur`an yang ada di tangannya segera dia sembunyikan, khawatir diketahui oleh Umar.

Penggalan kisah di atas menyebutkan adanya kulit kertas bertuliskan Al-Qur`an yang dipegang oleh Fatimah. Kisah tersebut menjadi bukti bahwa Al-Qur`an telah dituliskan sejak permulaannya. Meskipun, wahyu diturunkan secara lisan, tetapi Rasulullah secara rutin memanggil para penulis untuk mencatat ayat-ayat yang diturunkan kepadanya.

Pencatatan wahyu ini semakin tampak jelas setelah Rasulullah dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Pada fase ini ada banyak informasi yang menjelaskan tentang proses pencatatan wahyu. Ada kurang lebih lima puluh enam orang yang bertugas mencatat wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Mereka mencatat ayat-ayat yang didiktekan oleh Rasulullah. Mereka adalah para penulis resmi wahyu.

Nama-nama mereka disebutkan oleh M.M. Al-A’zami dalam bukunya The History of The Qur`anic Text:[3]

 

1.   Abban bin Sa’id

2.   Abu Umama

3.   Abu Ayyub Al-Anshari

4.   Abu Bakar Ash-Shiddiq

5.   Abu Hudzaifa

6.   Abu Sufyan

7.   Abu Salama

8.   Abu Abbas

9.   Ubay bin Ka’ab

10.        Al-Arqam

11.        Usaid bin Al-Hudair

12.        Aus

13.        Buraida

14.    Bashir

15.    Tsabit bin Qais

16.    Ja’far bin Abi Thalib

17.    Jahm bin S’ad

18.    Suhaim

19.    Hatib

20.    Hudzifa

21.    Husain

22.    Hanzhalah

23.    Huwaitib

24.    Khalid bin Sa’id

25.    Khalid bin Walid

26.    Zubair bin Awwam

 

27.  Zubair bin Arqam

28.        Zaid bin Tsabit

29.        Sa’ad bin Rabi’

30.        Sa’ad bin Ubada

31.        Sa’id bin Sa’id

32.        Syurahbil bin Hasna

33.        Thalhah

34.        Amir bin Fuhairah

35.        Abbas

36.        Abdullah bin Arqam

37.        Abdullah bin Abi Bakr

38.        Abdullah bin Rawahah

39.        Abdullah bin Zaid

40.  Abdullah bin Sa’ad

41.          Abdullah bin Abdullah

42.          Abdullah bin Amr

43.          Utsman bin Affan

44.          Uqba

45.          Al-A’la bin Uqba

46.          Ali bin Abi Thalib

47.          Umar bin Khaththab

48.          Amr bin Ash

49.          Muhammad bin Maslama

50.          Muadz bin Jabal

51.          Muawiyyah

52.          Ma’n bin Adi

53.  Muaqib bin Mughira

54.Mundzir

55.Muhajir

56.Yazid bin Abi Sufyan

Selain para penulis wahyu yang resmi, ada pula para penulis independen yang secara mandiri menuliskan firman-firman Allah pada sarana-sarana yang mereka miliki. Hal tersebut dapat diketahui melalui peristiwa pembukuan Al-Qur`an di masa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utsman bin Affan. Saat itu Zaid bin Tsabit ditunjuk sebagai ketua tim pembukuan Al-Qur`an, baik di masa Abi Bakar maupun di masa Utsman.

Langkah yang dilakukan Zaid bin Tsabit untuk menjaga keaslian Al-Qur`an sekaligus menjaganya dari kesalahan penulisan Al-Qur`an adalah mengumpulkan semua tulisan Al-Qur`an yang ada pada penulis resmi dan penulis independen. Selain itu dia juga mengumpulkan para penghafal Al-Qur`an untuk mencocokkan hafalan mereka dengan tulisan yang sudah terkumpul.

Hal ini menujukkan bahwa tradisi menulis di kalangan kaum Muslimin sudah cukup intens, khususnya dalam penulisan Al-Qur`an. Selain menuliskan Al-Qur`an Rasulullah melarang para shahabat untuk menuliskan yang keluar dari lisan beliau. Namun, larangan ini jsutru menjadi bukti bahwa para shahabat terbiasa menuliskan apa saja yang mereka dengar. Oleh sebab itulah Rasulullah khawatir jika sabda-sabdanya akan tercampur dengan wahyu yang datang dari Allah jika sama-sama dituliskan.

Tradisi menulis di kalangan para shahabat selain menuliskan Al-Qur`an adalah menulis syair-syair. Tetapi ini bukan tradisi yang menonjol. Hanya beberapa shahabat yang dikatakan sebagai ahli syair. Di antaranya Hassan bin Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Dengan syairnya mereka memuji Rasulullah, mengagungkan Islam dan mengobarkan semangat perjuangan para shahabat.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat yang sangat menggandrungi syair-syair. Mereka biasanya menuliskan syair-syair pada dinding rumah, pelepah kurma, dedaunan kering dan tulang belulang. Para penyair yang terkenal sebelum kehadiran dakwah Islam adalah Umru’ul Qais, Tharafah bin Abid, Harits bin Hillitzah, Zuhair bin Abi Salma, Amr bin Kultsum, Antara bin Syaddad dan Labid bin Rabiah.

Ketika Rasulullah memulai dakwahnya di Mekah banyak dari kalangan para penyair yang memusuhi dakwah beliau. Mereka mengolok-olok Rasulullah dengan syair-syair yang mereka buat. Sehingga Allah menurunkan ayat yang berkaitan dengan mereka:

Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat. (Q.s. Asy-Syu’ara: 224).

Tetapi kemudian Allah mengecualikan para penyair yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ayat ini menjadi penawar bagi kekhawatiran para shahabat yang terkenal sebagai penyair. Ayat itu berbunyi:

Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya. (Q.s. Asy-Syu’ara: 227).

Dapat disimpulkan bahwa tradisi menulis dalam Islam untuk pertama kalinya hanya berkaitan dengan penulisan Al-Qur`an. Berkat upaya penulisan Al-Qur`an yang dilakukan para shahabat itu, Al-Qur`an dapat terjaga keasliannya hingga hari ini. Tentu ini merupakan kehendak Allah yang telah berjanji, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.s. Al-Hijr: 9).

Sejak awal Al-Qur`an telah memandu tradisi literasi umat Islam, baik dalam konteks teknis maupun landasan filosofisnya. Selain sebagai teks yang pertama kali ditulis berdasarkan perintah Rasulullah, Al-Qur`an juga memberikan pedoman-pedoman awal dalam konteks membaca dan menulis. Sungguh beruntung umat Islam yang memiliki panduan tradisi literasi yang disandarkan pada sumber utama agamanya. Semoga selanjutnya umat Islam dapat memberikan bukti konkret, bahwa mereka benar-benar layak menjadi prototype umat dengan tradisi literasi yang unggul.

[1] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir (Jakarta: Gema Insani, 2014), Vol. 15, hlm. 598.

[2] Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Tradisi Literasi di Peradaban Islam; Etika dan Etos Para Ilmuwan Muslim (Tangerang: Pustaka Compass, 2020), hlm. 9-11.

[3] M.M. Al-A’zami, The History of The Qur`anic Text (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 72.

Tinggalkan Komentar