fbpx

IkadiDIY.com

MASA PERMULAAN ISLAM DI INDONESIA (Bagian 1)

MASA PERMULAAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Ust. Deden A. Herdiansyah, M.Hum

Bagian 1

 

 

Lalu lintas perdagangan laut yang menghubungkan Cina di Timur hingga India di barat telah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi.[1] Rute ini dipilih oleh para pedagang dari bangsa Cina, Asia Tenggara, dan India seiring dengan ditinggalkannya rute perdagangan darat yang dikenal dengan jalur sutra (The Silk Road). Alasan dipilihnya jalur laut daripada jalur darat adalah karena jalur darat saat itu dianggap lebih sulit dan lebih berbahaya untuk dilalui, serta menghabiskan waktu perjalanan yang lebih lama jika dibandingkan dengan jalur laut. Di samping itu teknologi kapal layar yang dapat menampung 600-700 orang juga sudah ditemukan, sehingga alat transportasi ini dipandang lebih efektif untuk bisa mengangkut barang-barang dagangan dalam jumlah yang lebih besar.

 

Dalam konteks kegiatan perdagangan itu wilayah Nusantara mulai disebut untuk pertama kalinya pada awal abad ke-5 Masehi dalam sebuah catatan perjalanan seorang bhiksu China bernama Fa Hsien. Dalam catatannya diceritakan bahwa dia melakukan perjalanan ke India pada tahun 400 Masehi melalui jalur darat. Kemudian pada tahun 414 Masehi dia pulang meninggalkan India melalui jalur laut dengan menumpang kapal barang besar yang membawa sekitar dua ratus orang.[2] Setelah dua hari perjalanan, kapal yang ditumpanginya diterjang badai sehingga mengalami kebocoran. Badai itu berlangsung selama 13 hari 13 malam, hingga akhirnya mereka berlabuh di pantai sebuah pulau.[3]

 

Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah negara yang disebut Ye-po-ti atau Ya-va-di. Fa Hsien menggambarkan negara itu dihuni oleh banyak penyembah berhala dan penganut Hindu, tetapi sangat sedikit yang menganut Buddha.[4] Negara Ya-va-di yang disebut oleh Fa Hsien sangat mungkin adalah Yava Dwipa, yaitu nama Pulau Jawa dalam transkripsi Sansekerta. Dengan adanya catatan ini Pulau Jawa menjadi tempat pertama di Nusantara yang muncul dengan jelas dalam teks-teks Cina.[5] Meskipun Pulau Jawa hanya disebutkan sepintas lalu, namun cukup untuk menunjukan bahwa pulau ini termasuk wilayah yang telah dilalui oleh jalur perdagangan dari India ke China—maupun sebaliknya—pada awal abad ke-5 Masehi.

 

Wilayah di Nusantara lainnya yang tertulis dalam catatan China menyusul kemudian setelah Pulau Jawa, yaitu pantai timur Sumatera (Gan-tuo-li) yang muncul pada tahun 455. Pada abad berikutnya, yaitu abad ke-6 Masehi—tepatnya tahun 523—muncul pula nama Lang-ya-xiu untuk wilayah-wilayah di Semenanjung Melayu. Sedangkan nama Mo-lo-you (Melayu) muncul pada tahun 644, dan berikutnya Shi-li-fo-Shi (Sriwijaya) muncul berturut-turut pada tahun 724, 728, 742.[6] Nama-nama wilayah itu dicatat, baik dalam konteks perdagangan maupun hubungan politik dengan China.

 

Seiring dengan berjalannya waktu aktivitas perdagangan di jalur ini semakin ramai dan meluas, sehingga membentuk jaringan perdagangan regional dan internasional.[7] Situasi tersebut mendorong tumbuhnya bandar-bandar dan ibu kota di sepanjang jalur perdagangan, terutama di wilayah Nusantara yang memang memiliki letak strategis, karena dilalui rute perdagangan internasional. Di antaranya ada bandar-bandar besar yang berfungsi sebagai pusat ekspor-impor, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara, Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, dan Banda Aceh.[8] Ada pula bandar-bandar kecil yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan hampir setiap kerajaan atau kesultanan memiliki bandar lebih dari satu.

 

Sebagai contoh Kesultanan Banten memiliki beberapa bandar, yaitu Pontang, Tangerang, Cigede, Kalapa, Cimanuk, dan Cirebon. Kesultanan Demak juga memiliki banyak kota bandar, seperti Jepara, Tuban, Gresik, Jaratan Sedayu, Surabaya dan lainnya di daerah Madura. Kesultanan-kesultanan di Maluku juga memiliki beberapa kota-bandar seperti Ternate, Tidore, Hitu Ambon, Banda, Bacan, Makian, dan Jailolo. Kesultanan Samudera Pasai beberapa bandarnya berada di pesisir Selat Malaka. Demikian pula kesultanan Aceh Darussalam dengan kota bandarnya, yaitu Lambri, Barus, Singkil dan Meulaboh.[9]

 

Di bandar-bandar itulah para pedagang melakukan aktivitas perdagangannya. Di antara mereka ada yang berasal dari pulau-pulau terdekat, dan ada pula yang berasal dari negeri yang sangat jauh. Hubungan perdagangan di antara mereka nampaknya dilakukan dalam sistem yang sudah tertata dengan baik. Sebuah prasasti perunggu berbahasa jawa kuno yang berasal dari Jawa Timur tahun 860 M, bahkan menyebutkan adanya semacam “konsul” yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing yang menetap di Jawa. Dalam prasasti tersebut disebutkan juru cina, yang berarti “petugas yang mengurusi orang-orang China”. Disebutkan pula juru barata, yang berarti “petugas yang mengurusi orang-orang India”.[10]

 

Dalam aktivitas perdagangan itu mereka saling berinteraksi satu sama lain, tawar menawar harga, bertukar barang dagangan atau bertransaksi jual beli. Terutama di bandar-bandar besar, dapat disaksikan beragam bangsa hadir meramaikan aktivitas perdagangan, baik dalam skala kecil maupun besar. Suasana kosmopolitan ini telah banyak dituliskan oleh para pengembara, baik yang berasal dari timur maupun barat.

 

[1] J.C. Van Leur, Perdagangan & Masyarakat Indonesia; Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hlm. 121.

[2] Denys Lombard memberi angka tahun 412—dua tahun lebih awal dari yang disampaikan Groeneveldt—untuk kepulangan Fa Hsien dari India. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm.12.

[3] W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu, 2018), hlm. 9.

[4] Ibid., hlm. 10.

[5] Pulau Jawa dalam catatan lain disebut pula dengan nama She-po; sebutan untuk Pulau Jawa dalam transkripsi China. Nama itu muncul pada tahun 420-an dalam catatan seorang pangeran dari Kashmir bernama Gunawarmma. Catatan China lainnya yang berasal dari abad yang sama juga menyebutkan nama She-po, yaitu dalam Tangshu, Xin Tangshu dan Songshi. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa…, hlm. 12.

[6] Ibid., hlm. 13.

[7] Menurut O.W. Wolters perdagangan jalur laut yang menghubungkan Asia Barat dan China Selatan semakin meningkat sejak abad ke-5 Masehi. Hal itu disebabkan beralihnya kepentingan ekonomi dari China Utara yang berdagang melalui jalur darat ke China Selatan yang berdagang melalui jalur laut. Peristiwanya dia ceritakan sebagai berikut: “Ketika orang-orang barbar melawan Cina Utara pada awal abad ke-4, orang-orang China menjadi pelarian ke selatan. Menurut buku Chin shu dari 311 Masehi, ketika Lo-yang ditawan hingga sekitar 321 Masehi, 60%-70% golongan bangsawan berpindah dari wilayah tengah China Utara ke selatan Sungai Yangtse. Orang-orang pelarian dari China Timur berangsur-angsur memulihkan kembali gaya hidup mereka. Ini terjadi karena mereka telah dapat mencari kekayaan dengan menggarap tanah-tanah subur yang mereka dapatkan di wilayah selatan. Sekalipun dinasti China Timur (317-420) lemah dan telah mengalami beberapa kali pemberontakan, kemungkinan tahun-tahun terakhir pemerintahan Maharaja Hsiao Wu (372-396) merupakan zaman yang tenang. Pada abad ke-5 keadaan terus bertambah baik, dan ada yang memperkirakan bahwa masa antara 424-453 Masehi adalah salah satu masa yang relatif damai dan sejahtera di China Selatan pada abad ke-5 dan ke-6. Kota-kota di sepanjang sungai Yangtse menjadi pusat perdagangan yang berkembang dan penting. Daerah itu tidak pernah mengalami peristiwa-peristiwa buruk seperti yang terjadi di kota-kota utara semasa terjadinya perang saudara barbar pada abad ke-4. Perdagangan dalam negeri berkembang dan mendapat dorongan dari pemerintah, yang sumber utama pendapatannya bergantung pada pajak perdagangan.” Dengan adanya situasi yang demikian, para pedagang dari barat—terutama Persia—yang sebelumnya berhubungan dagang dengan China Utara melalui jalur darat harus mengalihkan jalur perdagangannya melalui laut untuk sampai ke China Selatan. Lihat O.W. Wolters, Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII (Depok: Komunitas Bambu, 2017), hlm. 77-78.

[8] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 44.

[9] Ibid.

[10] Denys Lombard, Nusa Jawa…, hlm. 16.

Tinggalkan Komentar