fbpx

IkadiDIY.com

MASYARAKAT YANG UMMI

MASYARAKAT YANG UMMI

Oleh: Deden A. Herdiansyah

 

Pada mulanya tidak ada yang memperhitungkan keberadaan sebuah masyarakat penghuni wilayah Jazirah Arab. Mereka hanya dianggap sebagai orang-orang barbar yang awam terhadap nilai-nilai peradaban. Tidak pernah pula ada yang mengira sebelumnya, bahwa negeri Arab itu akan menjadi tempat tumbuhnya sebuah peradaban baru yang mendominasi peradaban dunia di kemudian hari. Saat itu perhatian dunia hanya tertuju pada dua peradaban besar yang saling bersaing, yaitu Romawi dan Persia. Tetapi, semua pandangan itu mulai berubah sejak risalah Allah diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad Shallallahu ’alayhi wa sallam, pada awal abad ke-7 M.

 

Dalam waktu yang relatif singkat peradaban di negeri Arab berubah menjadi peradaban iman dan ilmu sejak masyarakatnya bersentuhan dengan nilai-nilai Islam. Fenomena itu membuat mata dunia terbelalak, menyaksikan kedahsyatan wahyu Allah yang mampu menggerakan sebuah masyarakat dalam membangun karyanya yang gemilang. Bahkan, dua peradaban besar saat itu, Romawi dan Persia, mulai gentar menghadapi peradaban Islam yang sedang mekar. Kemudian pada akhirnya Romawi dan Persia jatuh dan bertekuk lutut di hadapan peradaban Islam yang tidak mampu lagi mereka hadapi.

 

Secara geografis-sosiologis masyarakat Arab terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat Arab Selatan yang menempati wilayah Yaman dan masyarakat Arab Utara yang menempati wilayah Hijaz, Nejd dan sekitarnya. Kondisi alam di kedua wilayah tersebut turut membentuk karakter masyarakatnya masing-masing. Yaman yang sebagian besar wilayahnya subur dan berbatasan dengan Samudera Hindia sangat menunjang bagi masyarakatnya untuk menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Sedangkan masyarakat Arab Utara yang sebagian besar wilayahnya tandus lebih banyak bergantung pada aktivitas perdagangan.  Tetapi, beruntungnya mereka masih memiliki dua aset yang mereka anggap paling berharga, yaitu Ka’bah dan mata air Zamzam.

 

Sistem sosial dan politik antara masyarakat Arab Utara dan Arab Selatan juga berbeda. Masyarakat Arab Selatan sudah mengenal sistem kerajaan dengan semua tata pemerintahan di dalamnya. Sedangkan masyarakat Arab Utara hanya mengenal sistem kesukuan yang dipimpin oleh para kepala suku. Baik sistem kerajaan maupun sistem kesukuan telah membentuk karakter masyarakatnya masing-masing. Masyarakat Arab Utara cenderung lebih berjiwa merdeka daripada Arab Selatan. Sebab, dalam sistem kesukuan tidak ada kekuasaan mutlak yang mengekang kebebasan masyarakatnya, sehingga mereka bebas dalam menentukan pilihan-pilihan sikap mereka secara independen.

 

Meskipun sebagian besar alamnya tandus dan tidak diatur oleh kekuasaan yang besar dan kuat, namun masyarakat Arab Utara lebih dinamis dan kosmopolitan dibandingkan dengan masyarakat Arab Selatan. Aktivitas perdagangan dan keberadaan Ka’bah di Mekah tampaknya menjadi sebab utama yang terus menerus menumbuhkan wilayah ini dari waktu ke waktu. Mekah, sebagai pusat wilayah Arab Utara ramai dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai bangsa pada setiap tahun, setidaknya untuk dua kepentingan, yaitu berdagang dan berhaji.

 

Ada satu hal lagi identitas unik yang melekat pada diri masyarakat Arab, yaitu sifat masyarakatnya yang ummi. Namun, apakah yang dimaksud dengan kata ummi itu? Dalam beberapa literatur kebahasaan, seperti Kamus Al-Muhith, Lisan Al-’Arab, Al-Munjid dan Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa kata ummi—sebagaimana yang tercantum di dalam Al-Qur`an—bermakna ketiadaan kemampuan baca tulis. Namun, tampaknya definisi ini memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk memahami konteksnya dalam pandangan para ulama.

 

Dalam Al-Qur`an, kata ummi yang berkaitan dengan masyarakat Arab di antaranya disebutkan pada surah Al-Jumu’ah ayat 2:

 

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf (ummi) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.s. Al-Jumu’ah: 2).

 

Penjelasan tentang makna kata ummi dalam ayat ini telah dipaparkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berpandangan bahwa kata ummi itu menjelaskan tentang ketidakmampuan masyarakat Arab dalam hal tradisi membaca dan menulis. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa makna ummi dalam ayat tersebut menjelaskan tentang masyarakat Arab yang tidak pernah membaca kitab-kitab suci sebelumnya; meskipun mereka memiliki kemampuan membaca dan menulis sebagaimana bangsa-bangsa lainnya.

 

Masing-masing kelompok di atas memiliki argumen yang menjadi landasan pendapat mereka. Kelompok pertama berpegang pada arti harfiah dari kata ummi yang bermakna tiadanya kemampuan dalam membaca dan menulis, sebagaimana yang telah banyak dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa Arab yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu mereka juga merujuk pada pernyataan Al-Baladzuri yang menyampaikan bahwa pada masa permulaan Islam hanya ada 17 orang di Mekah yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, yaitu:

 

  1. Umar bin Khaththab
  2. Utsman bin Affan
  3. Ali bin Abi Thalib
  4. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
  5. Thalhah bin Ubaidillah
  6. Yazid bin Abi Sufyan
  7. Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah
  8. Hatib bin Amr
  9. Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi
  10. Aban bin Sa’id
  11. Khalid bin Sa’id
  12. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh Al-Amiri
  13. Huwaitib bin Abdul ’Uzza Al-Amiri
  14. Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah
  15. Muawiyah bin Abi Sufyan
  16. Juhaim bin As-Salt
  17. Al-’Ala bin Hadrami.[1]

Artinya, pada saat Al-Qur`an diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab masing sangat sedikit di antara mereka yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Pandangan ini juga dikuatkan oleh mayoritas ulama yang menafsirkan kata ummi dengan makna tidak bisa membaca dan menulis. Keterangan tersebut bisa dilihat dalam beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir Jalalain, Shafwatut Tafasir, Tafsir Al-Munir dan yang lainnya. Ditambah lagi ada satu hadis yang semakin menguatkan pendapat tersebut, yaitu:

 

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا

Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung bulan seperti ini dan seperti ini. (H.r. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Adapun kelompok yang berpandangan bahwa kata ummi pada masyarakat Arab itu tidak berkaitan dengan ketidakmampuan membaca dan menulis merujuk pada beberapa asumsi sejarah. Mereka berpandangan bahwa tidak mungkin masyarakat Arab buta huruf, karena mereka adalah kaum pedagang yang seharusnya akrab dengan aktivitas mencatat. Mereka juga mempermasalahkan data Al-Baladzuri yang menyatakan hanya 17 orang yang mampu membaca dan menulis ketika Islam hadir. Mereka mengemukakan bahwa masih ada nama-nama lainnya yang belum tercatat oleh Al-Baladzuri.

 

Selain itu, mereka juga merujuk pada penjelasan Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang mengutip perkataan Ibnu Abbas tentang makna ummi yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Ibnu Abbas mengatakan, “Semua orang Arab itu ummi, baik yang bisa menulis maupun yang tidak bisa menulis. Sebab, mereka bukanlah Ahlul Kitab.”[2] Perkataan Ibnu Abbas ini menjelaskan bahwa makna ummi dalam masyarakat Arab tidak berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis, tetapi bermakna kaum yang tidak membaca kitab-kitab suci sebelumnya.

 

Kedua pendapat di atas sebetulnya bisa disatukan pada beberapa bagiannya. Pertama, hadis Rasulullah di atas telah menyatakan secara eksplisit bahwa makna ummi dalam masyarakat Arab itu adalah ketidakmampuan menulis (dan membaca). Namun, hadis itu tampaknya menjelaskan kondisi umum masyarakat Arab. Jadi, bukan berarti tidak ada sama sekali masyarakat Arab yang mampu membaca dan menulis. Faktanya ada di antara masyarakat Arab yang sudah bisa membaca dan menulis sebelum Islam hadir, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baladzuri. Bahkan, riwayat lainnya menyebutkan nama-nama lain selain yang telah disebutkan oleh Baladzuri. Artinya, bisa jadi masyarakat Arab yang bisa membaca dan menulis pada saat itu jumlahnya jauh lebih banyak dari yang telah disebutkan oleh Al-Baladzuri.

 

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa makna ummi masyarakat Arab adalah kaum yang tidak membaca kitab-kitab suci sebelumnya, mungkin ada benarnya. Sebab, pada umumnya masyarakat Arab di masa dahulu tidak memiliki perhatian yang besar terhadap aspek literasi. Mereka lebih menonjolkan tradisi lisan dan kemampuan dalam menghafal. Namun, bukan berarti tidak ada sama sekali orang Arab yang membaca kitab suci sebelumnya. Faktanya, Waraqah bin Naufal adalah seorang Arab penganut Nasrani yang tinggal di Mekah, bahkan pernah menulis kitab Injil.

 

Sehingga kalau disimpulkan, masyarakat Arab terdahulu adalah sebuah kaum yang masih terasing dari tradisi membaca dan menulis. Oleh sebab itulah, mereka tidak begitu tertarik dengan segala sesuatu yang tertulis, termasuk di antaranya kitab-kitab suci terdahulu. Namun, bukan berarti tidak ada sama sekali di antara masyarakat Arab yang bisa membaca dan menulis. Ada banyak di antara mereka yang memiliki kemampuan tersebut. Karena kemampuan itu mereka memiliki kedudukan yang terpandang di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga mereka dijuluki al-kamil (orang yang sempurna).

 

[1] Al-Baladzuri, Futuh Al-Buldan (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, tahun tahun), 3/580.

[2] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964 M), 18/91.

Tinggalkan Komentar