fbpx

IkadiDIY.com

PROSES LAHIRNYA KITAB PARA ULAMA TERDAHULU

PROSES LAHIRNYA KITAB PARA ULAMA TERDAHULU

Oleh: Deden A. Herdiansyah

 

Hari ini kita dapat memandangi ribuan karya ulama terdahulu dengan penuh ketakjuban. Alasan ketakjuban itu setidaknya terkait dengan dua hal. Pertama, terkait dengan produktivitas para ulama dalam menghasilkan ribuan, bahkan jutaan kitab itu. Kedua, terkait dengan kualitas tulisan para ulama yang manfaatnya masih bisa dirasakan hingga hari ini; dikaji dan dipelajari oleh jutaan manusia hampir di seluruh dunia.

 

Jika kita menelusuri proses lahirnya sebuah kitab yang ditulis oleh ulama terdahulu ketakjuban kita tidak kalah besarnya. Dengan situasi yang penuh keterbatasan pada saat itu upaya untuk melahirkan sebuah buku atau kitab bukan sesuatu yang sederhana. Semua sarana yang digunakan oleh para ulama saat itu untuk melahirkan sebuah karya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan semua sarana yang dimiliki oleh generasi hari ini.

 

Beberapa sumber telah memberikan gambaran tentang bagaimana proses terlahirnya sebuah karya para ulama di masa dahulu. Terkait pembahasan ini saya mengambil referensi hampir seluruhnya dari buku yang berjudul The Arabic Book karya Johannes Pedersen. Dalam buku ini dipaparkan beberapa poin menarik terkait dengan proses terlahirnya sebuah buku, di antaranya:

 

Pendiktean (imla`)

Di masa dahulu para ulama penulis pada umumnya juga berstatus sebagai guru yang mendidik dan mengajar banyak murid. Oleh sebab itu, menulis dan mengajar adalah aktivitas yang terhubung satu sama lain dalam diri seorang ulama. Dari kedua aktivitas itulah sering kali kitab-kitab dilahirkan.

 

Dalam majelis pengajaran atau lingkaran studi (halaqah) seorang guru menyampaikan pengajarannya, sedangkan para murid mencatat apa yang disampaikan oleh gurunya. Selain itu ada satu orang asisten yang bertugas khusus mencatat semua perkataan sang guru. Adakalanya sang guru menyampaikan pelajarannya dari buku yang telah ditulisnya, tetapi sering pula dia menyampaikan secara langsung dari pikirannya. Asisten yang bertugas khusus mencatat materi yang disampaikan guru disebut sebagai mustamli.[1]

 

Selain bertugas mencatat materi yang disampaikan gurunya, seorang mustamli terkadang juga menjadi “penyambung atau pengeras suara” agar perkataan sang guru didengar lebih jelas oleh murid-muridnya yang hadir. Mustamli mengulang perkataan gurunya dengan suara yang lebih keras. Hal ini dapat dipahami karena alat pengeras suara atau speaker belum dikenal pada masa itu.

 

Banyak guru yang mendiktekan pelajarannya langsung dari ingatannya, tanpa merujuk atau membaca tulisan yang telah dia buat sebelumnya. Misalnya An-Nisaburi yang mendiktekan pelajarannya tentang Al-Qur`an langsung dari ingatannya sampai menghasilkan karya sebanyak 4 jilid kitab. Ulama dan kaum intelektual lainnya juga banyak yang melakukan hal yang sama, seperti Al-Bawardi yang menghasilkan 30.000 halaman dan Ibnu Quthiya yang menghasilkan karya tentang sejarah Spanyol.[2] Cara seperti ini memungkinkan untuk dilakukan oleh mereka, mengingat masyarakat Arab pada masa itu sudah terbiasa melatih daya ingatnya.

 

Cara lain yang biasa dilakukan oleh para guru adalah mendiktekan pelajarannya dari naskah yang telah mereka buat sebelumnya. Naskah asli atau naskah awal yang dibuat oleh penulis biasanya disebut sebagai muswadda (menjadi hitam), sedangkan manuskrip hasil salinan dari naskah tersebut disebut sebagai mubyadhdha (menjadi putih). Para pecinta buku pada masa itu biasanya menganggap naskah asli atau muswadda sebagai sebuah karya yang sangat berharga, karena nilai orisinalitasnya.[3]

 

Pembahasan

Seorang penulis atau guru di masa dahulu biasanya membacakan karya yang telah ditulisnya di hadapan khalayak ramai atau di majelis ilmunya. Seorang mustamli tetap berada di sampingnya untuk mencatat perkataan yang disampaikannya. Pada kegiatan tersebut orang-orang yang hadir dimungkinkan untuk memberikan tanggapan atas pembacaan tersebut, baik berupa pertanyaan maupun sanggahan. Suasana seperti itu menciptakan diskusi yang diwarnai pandangan-pandangan yang berbobot.

 

Kegiatan pembacaan ini sangat berpengaruh terhadap karya awal yang telah dibuat oleh penulis. Mungkin saja ada tambahan penjelasan dan keterangan berdasarkan pada diskusi yang terjadi pada kegiatan pembacaan karya awal itu. Dimungkinkan juga ada revisi dan pengurangan dari naskah sebelumnya. Bahkan, Pedersen—setelah mengutip Yaqut Al-Hamawi—menceritakan bahwa Ath-Thabari pernah menghentikan pembacaan karyanya di Tabaristan, karena yang disampaikannya tentang sejarah awal Islam dianggap menyinggung sekte Syiah yang berkuasa di tempat itu.[4]

 

Poin-poin diskusi yang dibahas pada kegiatan pembacaan tersebut dicatat oleh mustamli yang berada di samping penulis atau guru, juga dicatat oleh sebagian audiens. Catatan-catatan itulah yang kemudian menjadi pertimbangan bagi seorang penulis atau guru untuk memberikan tambahan atau revisi pada karyanya. Dalam proses ini seorang penulis atau guru akan dibantu oleh mustamli. Catatan-catatn dari hasil diskusi yang ada pada mustamli akan dibacakan kepada penulis kemudian dibacakan lagi di hadapan audiens. Kegiatan ini selain sebagai sarana pengajaran bagi para pelajar dan masyarakat umum, namun dapat pula dipahami sebagai uji publik sebelum sebuah karya dipublikasikan secara lebih luas ke khalayak pembaca.

 

Pemeriksaan (penyuntingan).

Setiap karya yang akan dipublikasikan benar-benar akan diperiksa secara teliti melalui cara-cara yang baku. Kegiatan pembacaan di hadapan audiens sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya sebenarnya merupakan salah satu cara untuk memeriksa konten dari sebuah naskah atau tulisan awal (muswadda). Dalam kegiatan tersebut konten sebuah naskah diperiksa oleh sekian banyak orang yang kemudian akan dikomentari, dikritik atau disepakati. Setelah kegiatan itu jika diperlukan naskah akan mendapatkan perbaikan, revisi, tambahan hingga siap untuk dipublikasikan secara lebih luas.

 

Selain itu ada cara lain yang bisa dilakukan dalam tahap pemeriksaan terhadap sebuah naskah, yaitu seorang murid mengoreksi naskah tersebut dengan dibantu oleh kawan-kawannya. Terkadang pada proses itu sang murid juga dibantu oleh gurunya. Hal ini mirip dengan pekerjaan yang dilakukan para editor hari ini. Jika sebuah naskah diperiksa oleh beberapa orang murid maka seperti halnya hari ini sebuah naskah juga bisa diperiksa oleh tim editor.

 

Setelah para murid atau mustamli selesai melakukan pemeriksaan terhadap sebuah naskah, maka proses selanjutnya mereka akan membacakan hasilnya di hadapan sang guru atau penulis naskahnya. Sang guru menyimak pembacaan muridnya. Jika dia merasa masih ada yang kurang, maka akan ditambahkan atau dikoreksi kembali. Namun, jika dia merasa naskahnya sudah sesuai, maka akan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu pembacaan kedua di hadapan audiens.

 

Pembacaan kedua

Pembacaan kedua dilakukan setelah proses pemeriksaan dan revisi terhadap tulisan awal selesai dikerjakan. Hal ini merupakan pertanggungjawaban terhadap publik atas saran-saran, tanggapan dan koreksi terhadap tulisan awal. Artinya, penulis menampung pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan audiens untuk dimasukkan di dalam karyanya.

 

Pada pelaksanaannya kegiatan pembacaan kedua ini dilakukan di hadapan khalayak mayarakat oleh penulisnya langsung atau oleh mustamli. Pembacaan ini meliputi tulisan awal dan tambahan-tambahan atau revisi yang disertakan setelah proses pemeriksaan. Para audiens akan mendengarkan pembacaan itu dan masih bisa memberikan komentarnya. Jika masih dianggap ada kekurangan, naskah akan diperbaiki kembali sampai pada bentuknya yang sempurna.

 

Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu para penulis Muslim telah bekerja dengan teliti untuk bisa menghadirkan sebuah karya yang akurat, benar dan tertata dengan baik. Mereka tidak menganggap karyanya terbebas dari cacat. Mereka terbuka untuk menerima pendapat dan tanggapan atas karyanya. Justru dari proses inilah karya para ulama terdahulu menjadi tampak lebih sempurna.

 

Pengesahan (ijazah)

Tahap ini sangat erat kaitannya dengan pemberian ijazah oleh penulis terhadap naskah yang telah melalui proses yang dipaparkan sebelumnya. Istilah ijazah sebetulnya biasa atau banyak digunakan dalam ilmu hadis, yaitu pada proses periwayatan hadis atau tahammul hadits. Ijazah artinya mengizinkan seseorang untuk menyampaikan hadis atau kitab berdasarkan otoritas ulama yang memberikan izin.

 

Namun, seiring berjalannya waktu istilah ijazah juga digunakan dalam bidang ilmu yang lebih luas; meliputi pemberian izin untuk menyampaikan suatu ilmu atau pengesahan terhadap suatu karya untuk disebarluaskan. Dalam hal penerbitan buku, penulis memberikan pengesahan atau ijazah ini pada salinan yang telah dibuatnya. Pengesahan ini menunjukkan bahwa dia telah memberikan izin untuk menerbitkan buku itu dalam bentuk yang disetujui.

 

Seorang mustamli atau seorang murid yang salinannya telah sesuai dengan karya sang penulis atau guru, maka mereka akan mendapatkan pengesahan atau ijazah atas salinannya itu. Artinya mereka dapat memiliki salinan naskah itu yang telah mendapatkan otorisasi dari penulisnya. Selain itu mereka juga memiliki hak untuk membacakan naskahnya kepada orang lain dan memberikan pengesahan terhadap catatan yang sudah dianggap sesuai dengan naskahnya. Pengesahan atau ijazah itu diberikan setelah pemilik naskah membacakan naskahnya di hadapan sang pemilik ijazah. Demikian seterusnya hingga salinan naskah dari generasi ke generasi menjadi mata rantai yang tersambung ke penulis aslinya.

 

Penyalinan atau penggandaan

Proses penggadaan sebuah buku di masa dahulu tentu saja berbeda dengan proses penggandaan buku masa kini. Proses penggandaan buku pada zaman sekarang bisa dengan sangat mudah dilakukan, karena adanya mesin percetakan atau mesin fotokopi. Namun, di masa dahulu proses penggandaan buku bukanlah sebuah hal yang sederhana; membutuhkan waktu dan ketekunan dalam pelaksanaannya.

 

Penggandaan buku tidak dilakukan oleh penulis buku, melainkan oleh orang-orang yang berprofesi khusus sebagai penyalin buku yang lazim disebut sebagai warraq. Biasanya para penyalin buku ini bekerja pada para penulis, pejabat tinggi, dan orang-orang kaya yang ingin membangun perpustakaan. Para penyalin buku ini juga memiliki kedudukan yang terhormat di tengah-tengah masyarakat.

 

Pedersen menyebutkan beberapa nama yang berprofesi sebagai penyalin buku, di antaranya adalah Yahya bin Adi. Menurut Pedersen, Yahya pernah menyalin kitab Tafsir Ath-Thabari sebanyak dua kali. Selain itu, Ibnu Nadim, penulis kitab Al-Fihrist, juga pernah berprofesi sebagai penyalin buku. Ismail bin Sabih, seorang pejabat tinggi pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid pernah mempekerjakan Al-Atsram sebagai penyalin buku untuk menyalin buku-buku karya Abu Ubaidah. Untuk menyelesaikan tugasnya itu dia diberi tempat tinggal oleh Ismail bin Sabih, dan dia meminta para penyalin buku lainnya untuk membantu pekerjaannya.[5]

 

Rupanya para pejabat tinggi atau orang-orang kaya tidak segan-segan untuk memberikan tempat tinggal kepada para penyalin buku untuk bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini bisa dipahami, sebab untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut mereka membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, dengan diberikan tempat tinggal para penyalin buku bisa lebih fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan sewaktu-waktu orang yang memberikan tugas bisa datang untuk mengontrolnya. Hal ini pernah juga dilakukan oleh Khalifah Al-Ma`mun yang menugaskan Al-Farra untuk menulis sebuah karya tentang bahasa. Untuk pekerjaan itu Al-Ma`mun memberikan salah satu ruangannya di istana kepada Al-Farra dan menunjuk beberapa penyalin buku seperti Salama bin Ashim dan Abu Nashr bin Al-Jahm.

 

Demikianlah tahap demi tahap proses terlahirnya sebuah buku yang lazim terjadi di masa dahulu. Tidak dapat dimungkiri bahwa proses itu tampak sangat menakjubkan, apalagi jika dibandingkan dengan proses pembuatan buku pada zaman ini. Barangkali di sinilah kita dapat membuktikan kebenaran sebuah ungkapan, “usaha tidak akan mengkianati hasil”. Kesungguhan para ulama terdahulu untuk melahirkan sebuah buku berbuah karya monumental yang manfaatnya dirasakan dalam waktu yang sangat panjang; dari generasi ke generasi.

 

Keterbatasan sarana pada masa itu tidak mengurangi nilai mutu karya yang dihasilkan. Justru terlihat beberapa keunggulan dalam prosesnya. Terutama pada proses penyuntingan yang melibatkan banyak orang sejak dari awal. Substansi sebuah karya telah diuji publik sejak tahap pertama atau kedua. Sehingga ketika sebuah karya dipublikasikan, dia telah melalui proses penyempurnaan dengan menambahkan pendapat-pendapat para audiens yang turut menyaksamai karya tersebut.

 

Namun, proses di atas bukanlah satu-satunya proses yang dilakukan oleh para ulama penulis. Ada pula ulama penulis yang langsung mempublikasikan karyanya tanpa melalui proses yang telah disebutkan di atas. Tetapi, pada umumnya terjadi kesamaan dalam proses penyalinan atau penggandaan. Ketika sebuah buku telah dipublikasikan, maka selanjutnya penggandaan buku akan dilakukan oleh warraq sebagaimana yang telah dijelaskan. Bagaimana pun semua proses itu menakjubkan bagi kita yang hari ini dibanjiri oleh buku-buku yang dihasilkan oleh mesin cetak. Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

 

[1] Agus Rifai, Perpustakaan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 173.

[2] Ibid., hlm. 174.

[3] Ibid.

[4] Johannes Pedersen, The Arabic Book (Pricenton: Pricenton University Press, 1984), hlm. 25.

[5] Ibid., hlm. 43-44.

Tinggalkan Komentar