IkadiDIY.com

BELAJAR DARI USTADZ DIDIK

Pandemi mengisi hari-hari kita dengan berita duka dari para dai yang peduli pada umat. Setiap kali ada yang pergi, serasa ada ruang kosong dalam bangunan umat ini yang seakan sulit untuk diisi kembali. Ternyata selama ini kita saling mengisi dan melengkapi. Para dai tanpa kita sadari hidup untuk mengisi ruang-ruang kosong itu. Ada yang membendung pendangkalan akidah di pelosok-pelosok desa. Ada yang menggarap anak-anak muda. Ada yang menghidupi jamaah mushalla. Ada yang tekun membersamai para preman menjemput hidayah. Ada yang fokus merintis pendidikan umat. Dan, ada banyak lagi peran-peran keumatan yang diisi oleh para dai dari banyak ormas dan komunitas di negeri ini.

 

Mereka mengisi ruang-ruang kosong itu dengan peran optimal. Selebihnya, para dai tekun dalam peran-peran pendampingan umat itu. Saking tekunnya, seolah kebutuhan dirinya tenggelam dalam usaha menjawab persoalan umat. Ia tak sempat untuk bersikap cengeng menghadapi rintangan apapun dalam kerja-kerja pendampingan umat. Mereka tak punya waktu untuk mengeluh atas cobaan-cobaan yang dihadapi, sebab menyelesaikan persoalan umat telah menjadi prioritas dalam hidupnya. Mereka tak punya kesempatan untuk mengaduh di ruang sepi, karena tarikan untuk hadir di tengah umat jauh lebih besar.

 

Ustadz Didik Purwodarsono adalah salah satu dai yang saya kenal menghibahkan hidupnya untuk kemajuan umat. Obsesi terbesarnya, dan berkali-kali pernah disampaikan, adalah menghadirkan dai-dai yang kompeten untuk terjun di tengah masyarakat. Untuk mewujudkannya beliau dirikan pesantren. Tujuannya mencetak dai-dai muda yang handal dan ikhlas membersamai umat. Senin (16/8/2021) Allah memanggil Pak Didik, begitu sebagian teman-teman Ikadi Yogyakarta memanggil beliau. Kami merasa kehilangan. Ada ruang yang selama ini beliau isi, tiba-tiba kosong dan tidak mudah mencarikan pengganti.

 

Ustadz Didik adalah teladan dalam membersamai umat. Dakwah adalah hari-harinya. Bersama dakwahlah beliau meyakini hidupnya akan selalu dijamin Allah ta’ala. Saya teringat ketika beliau berkisah pengalaman hidupnya. Suatu saat (seingat saya) anaknya membutuhkan biaya untuk sekolah. Pas kebetulan hari itu tak ada uang yang mencukupi. Beliau tetap tenang, meski dikatakan kepadanya, “Kok cuma senyum. Ini gimana menyelesaikannya?” Tak lama kemudian, rumahnya diketok orang. Ia datang menyerahkan sejumlah uang. “Mohon maaf, Pak Didik. Saya telat menyerahkan uang penjualan buku.” Masya Allah. Ustadz Didik tidak menyangka bahwa akan datang rizki yang tak diduga dari hasil penjualan buku yang telah lama itu. Beliau tidak mengingatnya sama sekali.

 

“Jumlah uang itu sama persis dengan kebutuhan yang kami perlukan,” kata Ustadz Didik Purwodarsono, pada suatu malam di rumah Ustadz Endri Nugraha Laksana, ketua Ikadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdakwah itu kewajiban. Perkara rizki yakin saja, pasti Allah telah memberikan jaminan. Saya mengingat garis besar cerita beliau itu. Beliau ditempa banyak pengalaman. Pengalaman-pengalaman itulah yang membangun kesadaran dalam diri beliau sebagai seorang dai.

 

Beliau bukan tipe dai rewel yang minta difasilitasi. Sepotong kisah tentang beliau masih saya ingat. Malam itu kami mendapat telepon. Kabar itu datang tiba-tiba. Ustadz Didik dan rombongan kecelakaan di Kulon Progo. Mobil yang ditumpanginya terjerumus masuk jurang. Betapa kami sangat kaget. Bergegas dengan seorang teman, kami melaju ke lokasi. Cak Trisno, sahabat saya ini anak pramuka. Jadi dia sangat sigap. Di jalan kami beli perlengkapan pertolongan pertama. Sesampai di lokasi orang-orang telah berdiri di tubir tebing. Mobil itu masuk jurang dengan lampu depan menyala ke atas seperti mercusuar. Pikiran kami sudah tidak karuan. Kami sudah membayangkan kondisi yang tidak menyenangkan. “Bagaimana kondisi ustadz Didik Purwodarsono?”

 

“Alhamdulillah,” kata salah seorang yang berkumpul di tubir jurang itu, “Sebelum mobil masuk jurang kami berloncatan keluar. Ustadz Didik selamat.” Alhamdulillah. Kami merasa lega.

 

“Terus sekarang dimana?” tanya kami sambil mengenali satu persatu di lokasi itu. Suasana amat gelap.

 

“Langsung berangkat ke lokasi tabligh akbar. Naik ojek,” jawab teman-teman yang sebelumnya satu rombongan dengan Ustadz Didik Purwodarsono. Tabligh akbar yang dihadiri Ustadz Didik Purwodarsono digelar oleh mahasiswa KKN. Dari kabar yang kami terima, Ustadz Didik tetap mengisi dengan renyah, segar, dan seakan tidak ada masalah yang dihadapi sebelumnya. Padahal, mobil Ustadz Didik ringsek. Sepengetahuan saya, mobil itu tak pernah selesai direparasi.

 

Begitulah saya belajar dari beliau. Dai itu harus siap dengan segala medan dan kondisi. Apapun kondisinya, pastikan umat tidak terlantar. Ustadz Didik mengajarkan kita bahwa para dai tidak selayaknya merepotkan umat dengan daftar tuntutan fasilitas yang memberatkan. Seandainya Allah mudahkan dengan sejumlah fasilitas, ya disyukuri. Tapi kalau toh tidak ada fasilitas yang memadai, pastikan dakwah tidak berhenti.

 

Saya teringat hadits Rasulullah saw. Dari Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Maukah kamu aku tunjukkan orang yang diharamkan neraka baginya? Para sahabat menjawab: tentu saja wahai Rasulullah. Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab: “(Haram tersentuh api neraka orang yang) Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl.” (H.r. At-Tirmidzi & Ibnu Hibban, disahihkan Al-Albani). Mereka adalah orang-orang yang tenang, tidak bersumbu pendek, dan tidak gampang murka (hayyin). Mereka juga orang yang santun dalam bertutur dan sopan dalam bersikap (layyin). Mereka adalah orang-orang yang grabyak, akrab, dan sangat bersahabat dengan siapapun (qaribin). Selain itu, mereka adalah orang-orang yang tidak suka mempersulit sesuatu. Mereka cendeung memudahkan urusan orang (sahlin).

 

Nah!

Dai sejati tidak gampang murka ketika umat tak melayaninya sesuai keinginan. Mereka tetap tenang dan terus menjaga tuturan agar tetap sejuk dan santun. Mereka membangun keakraban dengan semua lapis masyarakat. Mereka tidak memilih-milih jamaah berdasar takaran duniawi. Semuanya sama dalam pertimbangannya. Para dai juga bukan kumpulan orang yang gemar mempersulit umat, atau bahkan sampai membuat umat kerepotan untuk menghadirkannya karena pertimbangan-pertimbangan yang mempersulit. Sama sekali tidak. Para dai hadir untuk umat. Inilah spirit yang harus selalu dijaga. []

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *