Kisah tentang kepedulian mengingatkan kita pada suatu peristiwa di hari Sabtu. Terjadi di sebuah kota di tepian laut. Ailah nama kota itu – berada di Antara Madyan dan Thur sebagaimana dituturkan Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin al-Hushain dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ketika menerangkan firman Allah, “Dan tanyakanlah kepada mereka tentang negeri yang terletak di tepian laut” (Q.s. al A’raaf [7]: 163).
Pada setiap Sabtu, penduduk kota itu dilarang untuk beraktivitas. Sebagaimana dititahkan Taurat, mereka hanya diminta beribadah saja di hari itu. Tapi pada suatu Sabtu, tiba-tiba terjadi keanehan. Tak seperti biasa. Ikan-ikan tampak di pantai, berjejal-jejal, berdesak-desak dalam jumlah yang banyak. Kejadian itu berlangsung terus, tapi hanya di hari Sabtu. Hari ketika penduduk kota itu dilarang beraktivitas, termasuk menangkap ikan.
Demikianlah ujian itu diberikan. Godaan itu selalu ditampilkan dalam bentuk-bentuk yang amat menggiurkan. Terbelahlah penduduk kota dalam tiga kelompok. Kelompok pertama dituturkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Mereka bersiasat untuk melanggar larangan Allah, dengan melakukan upaya-upaya yang nampaknya tidak melanggar, tapi hakikatnya melakukan keharaman.” Sebelum Sabtu, demikian mereka bersiasat, ditebarlah jala dan perangkap. Ketika ikan-ikan mulai berdatangan di tepian laut pada hari Sabtu, ikan-ikan itupun masuk pada perangkap yang telah dipasang sehari sebelumnya. Agar tak dianggap melanggar, orang-orang berhati luka itupun memanen ikan-ikan pada hari Ahad. Tampaknya tak ada masalah. Tapi sesungguhnya mereka sedang bermuslihat pada Allah ta’ala.
Kelompok kedua, mereka yang sibuk mengingatkan. Mereka adalah syarikat para dai. Kelompok ini gigih menentang setiap muslihat yang dilakukan kelompok pertama, yakni bersiasat untuk mengakali larangan Allah. Inilah kelompok orang yang peduli. Kelompok ketiga, merekalah yang tidak melakukan pelanggaran pada hari Sabtu, tapi sekaligus juga lebih memilih diam menyaksikan kemaksiatan di depan mata. Kelompok ketiga inilah yang justru getol dan sinis mematahkan ikhtiar para dai.
“Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?”Mereka menjawab, ‘Agar kami memiliki alasan di hadapan Rabb-mu dan supaya mereka bertakwa.’” (Q.s. al-A’raaf [7]: 164)
Jelas pertanyaan itu bukan untuk menguatkan kelompok kedua. Pertanyaan itu diarahkan untuk menggerogoti orientasi dan komitmen para dai, yaitu mereka yang gigih melakukan perbaikan di tengah masyarakat. Tidak ada maksud baik dari pertanyaan itu, kecuali kehendak untuk mematahkan semangat berdakwah dan amar makruf nahi mungkar kelompok kedua. “Buat apa kalian terus menasihati,” kata mereka dengan nada nyinyir, “sementara jika Allah mau, Dia akan adzab begundal-begundal itu dengan siksa yang amat pedih?”
Menariknya, ayat tersebut mengisahkan jawaban para dai. Jawaban tegas dan jelas, “Ma’dziratan ilaa Rabbikum – agar kelak kami memiliki alasan di hadapan Rabbmu.” Alasan yang melepaskan tanggung jawab untuk mengajak pada yang makruf dan mencegah yang mungkar. Inilah kelompok yang menjadikan dakwah sebagai orientasi dan pilihan hidupnya. Tak kenal lelah ia berdakwah. Tak terbebani seberapa lama ia harus menasihati, sebab itulah jalan yang harus ditempuhinya. Itulah jalan yang dipilihnya. Menunaikannya adalah bagian dari penyempurnaan tugas selaku hamba-Nya.
Alasan kedua pun mereka sampaikan, “Wala’allahum yattaquun – supaya mereka bertakwa.” Inilah harapan seorang dai. Sesulit apapun menyeru sesama kepada kebaikan, harapan terhadap hidayah Allah tak pernah pupus. Ia menyadari sepenuhnya bahwa tugas baginya hanyalah menyampaikan; sementara kewenangan untuk membukakan hidayah ada pada Allah ta’ala. Mudah-mudahan dengan nasihat-nasihat yang tersampaikan itu mereka menjadi bertakwa; menggantinya dengan taubat kepada Allah dan meninggalkan apa yang selama ini mereka siasatkan.
Inilah dua sumber utama kepedulian dai. Tanggung jawab pada tugas dakwah dan dorongan untuk melakukan perbaikan di tengah masyarakat. Para dai menunaikan tugas-tugasnya agar kelak dapat mempertanggungjawabkan di hadapan Allah bahwa ia telah melakukan ikhtiar perbaikan di tengah masyarakat yang bergetah. Ia hidupkan kajian di lingkungannya. Ia rintis tradisi kebaikan di tengah masyarakat. Ia tak menghiraukan sedikitnya orang yang menyambut ajakannya. Para dai tak pernah silap oleh kerumunan dan tak surut oleh sepinya sambutan. Ia terus berbuat agar kelak lebih enteng mempertanggungjawabkan di hadapan Allah. Setiap kali diminta ngisi kajian atau jadi khatib, di daerah terpencil sekalipun, ruhul istijabah (daya keterpanggilan)-nya kuat. Responsif menyambut. Bukan karena dorongan materi, tapi bersebab tanggung jawab pada Allah dan keinginan kuat agar masyarakat menjadi lebih baik.
Dari al-Quran kita mengetahui bahwa akhir dari kisah hari Sabtu dan sebuah negeri di tepian laut itu adalah kepiluan. Nasihat-nasihat yang tersampaikan ternyata tak secuilpun diindahkan. Allah katakan, “Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari kemungkaran dan Kami binasakan orang-orang yang zalim” (Q.s. Al A’raaf [7]: 165). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya orang-orang yang melanggar peraturan pada hari Sabtu, mereka dikutuk menjadi kera selama beberapa saat, kemudian mereka pun dibinasakan. Tak ada keturunan dari kera-kera kutukan ini.” Namun, bagaimana nasib kaum yang bersikap apatis; tak melanggar aturan hari Sabtu tapi juga tak peduli terhadap pelanggaran-pelanggaran itu? Wallahu a’lam. ‘Ikrimah menyebutkan dari Ibnu Abbas, “Aku tidak tahu, apakah orang-orang yang mengatakan, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka,’ selamat ataukah tidak?”
Apapun akhir dari kisah orang-orang yang tidak peduli itu, kita dapat memahami bahwa pilihan untuk bersikap pasif, apatis, masa bodoh, dan tak acuh atas setiap kerusakan di tengah masyarakat adalah tindakan yang tidak diridlai Allah. Kita selalu bersyukur ketika disibukkan untuk menjadi bagian dari syarikat para dai, di pelosok negeri manapun, seberapapun jumlah pendukung, sesederhana apapun fasilitas yang terhimpun. Kita akan menjaga agar tetap istikamah di jalan para dai. []