Pandemi mengingatkan saya pada ulasan Malcolm Gladwell dalam bukunya The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference. Salah satu yang dia bicarakan dalam buku itu adalah perkara gejala apatisme. Oleh Gladwell, gejala itu dikatakannya sebagai gejala yang sangat memprihatinkan. Pernyataan lelaki kelahiran Inggris tahun 1963 ini mungkin tidak berlebihan, sebab dia lalu memperkuatnya dengan sebuah kisah yang mengiris nurani. Memilukan tapi juga memalukan.
Gladwell mengisahkan tentang penganiayaan yang berujung pembunuhan terhadap seorang gadis peserta kontes kecantikan di kota New York. Kitty Genovese nama gadis malang itu. Kitty dikejar-kejar oleh para pembunuh bayaran dan dianiaya selama tiga kali di jalanan, selama lebih dari setengah jam. Pada saat yang bersamaan, tiga puluh delapan orang tetangganya menyaksikan kejadian itu dari jendela masing-masing. Diam. Menonton. Tidak ada seorang pun yang tergerak untuk menolong atau menelepon polisi. Di ujung kisahnya, secara emosional, Gladwell menuliskan, “Ini kejadian yang sangat memalukan!” Mungkin setiap kita akan mengamini pernyataan Gladwell.
Apatisme merupakan gejala sosial paling buruk di sekitar kita. Ia menjadi fenomena betapa dingin dan tidak manusiawinya kehidupan di sekeliling kita. Kehidupan yang mengedepankan individualisme yang berlebihan. Kehidupan yang menganggap bahwa peduli terhadap orang lain, bahkan dalam perkara hidup mati seseorang, adalah perbuatan mubadzir yang akan merugikan diri sendiri. Begitu buruknya penyakit ini sehingga Rasulullah saw. mengingatkan, “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan umat, ia bukan menjadi bagian dari umatku.” (H.r. Thabrani).
Apatisme dengan demikian bukan karakter kenabian. Oleh karena itu, tabiat itu tidak dibiarkan melekat dalam diri umat ini. Rasulullah mengajari kita. Tak dibiarkannya ada uang yang berdiam terlalu lama di rumahnya. Para sahabat memberikan tauladan tentang kepedulian ini tidak tanggung-tanggung. Sejarah telah mencatatkan dalam ingatan kita tentang Umar bin Khathab yang mengangkut sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Tentu masih banyak kolase kisah tentang kepedulian yang dapat kita rangkai menjadi kisah-kisah keteladanan. Keseluruhannya bersumber dari sensitivitas diri yang lahir dari mata air keimanan mereka. “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa. Dan, jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya amat berat siksaan-Nya” (Q.s. al-Mâ’idah [5]:2).
Apatisme dapat muncul dari apa saja. Salah satunya karena setiap orang beranggapan bahwa kepedulian itu telah ditunaikan orang lain. Orang Jawa menyebutnya dengan ‘njagakke.’ Saya tidak menemukan padanan kata yang pas untuk menjelaskan maknanya. Tapi barangkali penelitian sederhana yang dilakukan dua orang psikolog, Bibb Latene (Columbia University) dan John Darley (New York University), dapat sedikit memberikan penjelasan.
Dua orang psikolog ini merancang sebuah eksperimen sederhana. Mereka merancang ada seorang mahasiswa yang terserang epilepsi dengan dua keadaan. Pertama, tetangga mahasiswi tersebut hanya satu orang yang mengetahui dan orang itu menyadari bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat kejadian. Kedua, dirancang tetangga tersebut mengetahui bahwa ada empat orang lain yang mendengar gejala serangan epilepsi itu. Hasilnya menjadi perenungan kita bersama. Peluang orang untuk langsung menolong pada kondisi pertama sebesar 85 persen. Sementara itu, peluang menolong sang mahasiswi dalam kondisi kedua hanya 31 persen.
Orang cenderung mengandaikan bahwa orang lain akan segera mengambil tindakan sebagai wujud kepedulian, ketika jumlah orang yang mengetahui kejadian banyak. Atau, jika ternyata banyak orang yang mengetahui tidak segera bertindak, itu menandakan bahwa peristiwa itu tidak terlalu parah. Biasa saja. Wallahu a’lam bish-showab. Hanya saja kita dapat membuat catatan refleksi dalam kejadian kita sehari-hari. Misalnya saja, ketika ada orang terjatuh dari sepeda motor, sementara di tempat tersebut banyak orang, kita lebih cenderung segera bertindak atau menunggu orang lain bertindak? Jika ada pengumuman di grup WhatsApp bahwa ada orang yang membutuhkan darah golongan X (yang ternyata sesuai dengan golongan darah kita), kita segera bergegas atau menunggu orang lain menanyakan kesanggupan kita? Demikian pula halnya dengan kepedulian kita terhadap perkara-perkara lain; anak-anak yang tidak dapat terbiayai sekolahnya, mereka yang sakit tanpa biaya pengobatan, atau sahabat dan tetangga yang sedang menjalani isolasi mandiri karena terpapar pandemi.
Kepedulian selalu lahir dari kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari orang lain. Ketika kita merasa memiliki jarak dengan orang lain, biasanya kita akan cenderung susah untuk peduli. Itulah sebabnya kesadaran keimanan menjadi penggerak untuk selalu peduli pada alam dan manusia. Keimananlah yang menggerakkan kita untuk hidup tanpa jarak dari lingkungan dan orang lain. Sebuah hidup tanpa spasi. Hidup yang diilhami dari semangat ta’awun (saling menolong). Dengan semangat inilah kita mengisi hari-hari kita. Dengan spirit itulah saat ini kita diuji. Pandemi adalah ujian kepedulian kita. []