fbpx

IkadiDIY.com

BERTAHAP DALAM DAKWAH

BEBERAPA PRINSIP DALAM DAKWAH: BERTAHAP DALAM DAKWAH

Oleh: Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I

 

Urgensi Bertahap dalam Dakwah

Hukum syariat dalam Islam diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk mengatur hidup mereka. Hukum-hukum ini kita ketahui dari Nash (dalil)  yang Qath’i ats-Tsubut (Valid dan otentik) dan Qathi’i ad-Dalalah (pasti kandungan hukumnya). Sebagian syariat berupa perintah, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, berbakti kepada orangtua dan menuntut ilmu. Sebagian yang lainnya berupa larangan, seperti berzina, mencuri, membunuh dan minum minuman keras.

Supaya manusia mau berkomitmen dengan hukum Allah dan menjadikannya sebagai panduan hidup, maka diperlukan strategi untuk mengajak mereka agar mau menjalankannya. Inilah yang disebut dengan dakwah. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah tertentu agar berhasil mencapai tujuannya. Di antara kaidah yang sangat penting dalam dakwah adalah: dakwah harus dilakukan secara bertahap. Kita ambil contoh kewajiban shalat. Walaupun melakukan shalat lima waktu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, akan tetapi dalam mengajak seseorang agar mau dan mampu melaksanakannya tidak bisa dilakukan dengan serta merta. Ada tahapan yang harus dilalui agar ia yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang shalat bersedia dan komitmen menjalankannya. Demikian juga dalam hal yang diharamkan. Seseorang yang sebelumnya sangat akrab dengan minuman keras, tidak bisa tiba-tiba dipaksa meninggalkannya.

Inilah yang terjadi dalam proses diturunkannya syariat Islam pada masa Rasulullah. Kebanyakan hukum diturunkan melalui tahapan dan proses yang panjang agar para shahabat Nabi sebagai orang-orang yang baru mengenal risalah Islam mampu menjalankannya.

Ummu al-Mu`minin Aisyah r.a. menjelaskan hal ini dengan menyatakan:

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ: لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الخَمْرَ أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ: لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا،

Sungguh yang pertama kali turun dari Allah adalah satu surat dari al-Mufashshal (surat-surat pendek) yang berisi penjelasan tentang surga dan neraka. Hingga apabila manusia telah mantap dalam Islam maka turunlah halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun adalah larangan: “Jangan minum khamr (miras)”. Tentulah mereka menjawab : “Kami tidak akan meninggalkan khamr selama-lamanya”. Seandainya yang pertama turun adalah larangan: “Jangan berzina”. Tentulah mereka akan menjawab: “Kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya”. (H.r. Al-Bukhari).

Di sini Ibunda Aisyah r.a. menjelaskan bahwa agar hukum berupa perintah dan larangan dilaksanakan oleh para shahabat, terlebih dahulu dikuatkan dalam hati mereka keimanan kepada Allah (Tauhidullah)  dan keyakinan-keyakinan lain yang menyertainya. Karena jika keimanan sudah kuat menghunjam, maka aturan apa pun akan mudah dilaksanakan.

Berikut ini akan dijelaskan salah satu contoh tahapan yang dilalui agar larangan meminum minuman keras yang sudah mendarah daging dalam budaya masyarakat Jahiliyyah bisa ditinggalkan.

 

Khamr Belum Diharamkan di Makkah

Masyarakat Arab secara umum sangat akrab dengan kebiasaan minum khamr. Demikian juga kaum Quraisy di Makkah. Masyarakat Arab saat itu menggunakan tidak kurang dari 250 kata yang menunjukkan makna minuman keras. Hal ini tidak kita temukan dalam bahasa lain. Bahkan syair-syair mereka yang paling indah adalah syair tentang khamr. Seakan-akan khamr itu mereka minum bersama air susu ibu mereka. Khamr adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Arab secara umum dan penduduk Makkah secara khusus pada saat itu. Para shahabat juga pernah menjadi para peminum khamr, kecuali beberapa orang saja, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Dengan melihat fakta ini, bisa dikatakan mustahil untuk menghapus budaya minum khamr dengan tiba-tiba. Oleh karena itu, ayat pertama yang berbicara tentang khamr hanya menjelaskan bahwa dari buah kurma dan anggur bisa dibuat menjadi khamr. Allah Swt berfirman,

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan(Q.s. An-Nahl: 67).

Rasulullah Saw bersabda,

إِنَّ مِنْ الْعِنَبِ خَمْرًا وَإِنَّ مِنْ التَّمْرِ خَمْرًا وَإِنَّ مِنْ الْعَسَلِ خَمْرًا وَإِنَّ مِنْ الْبُرِّ خَمْرًا وَإِنَّ مِنْ الشَّعِيرِ خَمْرًا

Anggur bisa dibuat khamr, kurma bisa dibuat khamr, madu bisa dibuat khamr, dan kacang kedelai pun bisa dibuat khamr.(H.r. Abu Dawud, at-Tirmdzi, an-Nasa`i dan Ibnu Majah).

Sampai datangnya perintah hijrah, belum ada satu ayat pun tentang pengharaman khamr.

 

Tahapan Pengharaman Khamr di Madinah

Pada masa awal hijrah Nabi, belum ada lagi ayat yang turun berkenaan dengan khamr. Beberapa waktu kemudian, barulah mulai turun ayat-ayat yang berhubungan dengan khamr. Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata,

“Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pertama kali memasuki kota Madinah, pada saat itu beliau mendapati penduduk Madinah gemar meminum arak dan makan dari hasil perjudian. Kemudian mereka menanyakan tentang kebiasaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu Allah menurunkan ayat ke-219 dari Surah al-Baqarah tentang mereka yang menanyakan khamr. Allah Swt berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…”. (Q.s. Al-Baqarah: 219).

Setelah mendapat jawaban seperti itu, mereka berkata “Tidak diharamkan kita meminum khamr, hanya saja berdosa besar”. Oleh sebab itu mereka meneruskan kebiasaan tersebut. Umar Ibn al-Khaththab merasa bahwa ayat tentang khamr itu belumlah jelas, maka dia berdoa,

اَللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِى الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا

“Ya Allah, jelaskan kepada kami tentang khamr penjelasan yang sejelas-jelasnya”. (Tafsir Ibnu Katsir).

Setelah beberapa waktu, turunlah ayat ketiga mengenai khamr. Dari Ali, ia berkata,

صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا فَدَعَانَا وَ سَقَانَا مِنَ اْلخَمْرِ، فَاَخَذَتِ اْلخَمْرُ مِنَّا، وَ قَدْ حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَقَدَّمُوْنِى فَقَرَأْتُ

 ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah membuat makanan untuk kami, lalu ia mengundang kami dan menuangkan khamr untuk kami, lalu di antara kami ada yang mabuk, padahal (ketika itu) waktu shalat telah tiba, lalu mereka menunjukku menjadi imam, lalu aku baca:

قُلْ ياَيُّهَا اْلكفِرُوْنَ، لاَ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ، وَ نَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ

Katakanlah: Wahai orang-orang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kami akan menyembah apa yang kamu sembah.

Ali berkata, “Lalu Allah menurunkan firman-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (Q.s. an-Nisa`: 43) [H.r. at-Tirmidzi, dan ia menshahihkannya].

Umar Ibn al-Khaththab tetap berdoa,

اَللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِى الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا

“Ya Allah, jelaskan kepada kami tentang khamr penjelasan yang sejelas-jelasnya” (Tafsir Ibnu Katsir)

Setelah beberapa waktu, barulah turun ayat yang mengharamkan khmar secara permanen. Sa’ad Bin Abi Waqqash berkata,

“Seorang shahabat Anshar membuat makanan dan mengundang kami, maka kami minum khamr sebelum khamr diharamkan, sehingga kami mabuk. Lalu masing-masing saling berbangga. Seorang Anshar berkata : “Kamilah yang lebih utama”. Dijawab oleh seseorang dari Quraisy, ”Kami lebih utama”. Tiba-tiba seorang Anshar mengambil tulang binatang yang sudah disembelih dan dipukulkan pada hidung Sa’ad Bin abi Waqqash. (H.r. Muslim dan al-Baihaqi).

Maka turunlah ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (Q.s al-Ma`idah: 90).

Berkata Rasulullah Saw tentang ayat ini,

حُرِّمَتِ اْلخَمْرُ.

Khamr itu telah diharamkan”. [H.r. Abu Dawud ath-Thayalisi].

 

Pengharaman khamr ini terjadi pada tahun ketiga Hijriyah sebagaimana pendapat kebanyakan ulama (Lihat: Tafsir al-Qurthubi 6/285, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah: 34/187, at-Tahrir wa at-Tanwir: 7/22).

 

Reaksi Para Shahabat

Setelah melalui proses yang sangat panjang, apakah para shahabat mampu meninggalkan khamr yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari? Mari kita menyimak cerita Anas bin Malik, seorang shahabat yang ketika khamr diharamkan masih berusia 13 tahun dan sedang menuangkannya kepada beberapa orang shahabat. Dari Anas, ia berkata,

كُنْتُ اَسْقِى اَبَا عُبَيْدَةَ  وَ اُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ مِنْ فَضِيْخِ زَهْوٍ وَ تَمْرٍ، فَجَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: اِنَّ اْلخَمْرَ حُرِّمَتْ. فَقَالَ اَبُوْ طَلْحَةَ: قُمْ يَا اَنَسُ فَاَهْرِقْهَا، فَاَهْرَقْـتُهَا

Saya pernah menuangkan (minuman) kepada Abu ‘Ubaidah dan Ubay bin Ka’ab, (yang dibikin) dari perasan kurma segar dan kurma kering, lalu ada seseorang datang kepada mereka, kemudian berkata, “Sesungguhnya khamr telah diharamkan”. Lalu Abu Thalhah berkata, “Berdirilah hai Anas, lalu buanglah”. Kemudian saya pun menuangkan (membuang) minuman tersebut”. [H.r. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim].‎

Hal yang sama diceritakan oleh Abu Sa’id, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,

ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنَّ اللهَ اَبْغَضَ اْلخَمْرَ، وَ لَعَلَّ اللهَ سَيُنْزِلُ فِيْهَا اَمْرًا، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلْيَبِعْهُ وَ لْيَنْتَفِعْ بِهِ

“Hai manusia, sesungguhnya Allah membenci khamr, dan mudah-mudahan Ia akan menurunkan suatu ketentuan padanya. Oleh karena itu barang siapa masih mempunyai sedikit dari padanya, maka hendaklah ia menjualnya dan memanfaatkannya”.

 Abu Sa’id berkata: Maka tidak lama kemudian Rasulullah Saw bersabda,

اِنَّ اللهَ حَرَّمَ اْلخَمْرَ، فَمَنْ اَدْرَكَتْهُ هذِهِ اْلآيَةُ وَ عِنْدَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلاَ يَشْرَبُ وَ لاَ يَبِيْعُ

“Sesungguhnya Allah (telah) mengharamkan khamr, maka barang siapa sampai kepadanya ayat ini [Q.s. Al-Ma`idah: 90], padahal ia masih mempunyai sedikit dari padanya, maka ia tidak boleh meminumnya, dan tidak boleh menjualnya”.

Abu Sa’id berkata,

فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ بِمَا كَانَ عِنْدَهُمْ مِنْهَا طُرُقُ اْلمَدِيْنَةِ فَسَفَكُوْهَا.

“Lalu orang-orang sama pergi menuju ke jalan-jalan Madinah sambil membawa sisa khamr yang ada pada mereka, lalu mereka menuangkannya”. [H.r. Muslim].

Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan kisah yang serupa,

اَنَّ رَجُلاً كَانَ يُهْدِى لِلنَّبِيِّ ص رَاوِيَةَ خَمْرٍ، فَاَهْدَاهَا اِلَيْهِ عَامًا وَ قَدْ حُرِّمَتْ

Bahwa pernah ada seorang laki-laki menghadiahkan kepada Rasulullah Saw seguci khamr, ia menghadiahkannya kepada beliau pada tahun diharamkannya khamr, lalu Nabi Saw bersabda,

اِنَّهَا قَدْ حُرِّمَتْ. فَقَالَ الرَّجُلُ: اَفَلاَ اَبِيْعُهَا؟ فَقَالَ: اِنَّ الَّذِى حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا. قَالَ:اَفَلاَ اُكَارِمُ بِهَا اْليَهُوْدَ؟ قَالَ: اِنَّ الَّذِى حَرَّمَهَا حَرَّمَ اَنْ يُكَارَمَ بِهَا اْليَهُوْدُ. قَالَ: فَكَيْفَ اَصْنَعُ بِهَا؟ قَالَ: شِنَّهَا عَلَى اْلبَطْحَاءِ

“Sesungguhnya khamr telah diharamkan”. Lalu orang itu bertanya, “Apa tidak boleh aku menjualnya ?” Jawab Nabi Saw, “Sesungguhnya minuman yang diharamkan meminumnya, juga diharamkan menjualnya”. Orang itu bertanya (lagi), “Apakah tidak boleh aku pergunakan untuk mengungguli kedermawanan orang Yahudi ?” Nabi Saw menjawab, “Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, maka haram (pula) untuk dipergunakan mengungguli kedermawanan orang Yahudi”. Orang itu bertanya (lagi), “Lalu harus aku gunakan untuk apa ?” Nabi Saw bersabda, “Tuangkan saja di Bath-ha’ / padang pasir.(H.r. al-Humaidi).

Mengenai hukum para shahabat yang meninggal sebelum diharamkannya khamr, seorang shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana nasib orang-orang yang gugur di jalan Allah dan yang mati di atas tempat tidur padahal mereka dahulu peminum arak dan makan dari hasil judi, padahal Allah menetapkan bahwa kedua hal itu termasuk perbuatan setan yang keji?” Rasulullah Saw menjawab,

لَوْ حُرِّمَ عَلَيْهِمْ لَتَرَكُوْاهُ كَمَا تَرَكْتُمْ

Andaikan dahulu diharamkan atas mereka pasti mereka akan meninggalkannya sebagaimana kalian meninggalkannya.(H.r. Ahmad).

Maka Allah menurunkan ayat:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan(Q.s. al-Ma`idah: 93).

 

Penutup

Inilah proses panjang pengharaman khamr. Sebuah tradisi dan budaya yang sangat mengakar dalam masyarakat Arab Jahiliyyah. Seandainya pada hari pertama Rasulullah mendakwahkan risalah Islam khamr diharamkan, pastilah mereka akan menolaknya dengan keras. Bahkan barangkali tidak ada yang tertarik untuk memeluk agama Islam. Akan tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui menurunkan syariat pengharaman khamr secara bertahap, hingga pada saat ia diharamkan, jiwa dan hati para shahabat sudah sangat siap sehingga dengan mudah meninggalkannya. Buya Hamka dalam tafsirnya al-Azhar menyebutkan pentahapan pengharaman seperti itu dengan istilah اَلتَّدْرِيْجُ فِى التشريع,  yaitu pentahapan dalam pemberlakuan syariat.

Dari peristiwa ini kita bisa mengambil pelajaran penting, bahwa untuk mengubah suatu kondisi masyarakat, diperlukan usaha terus-menerus dan proses yang bertahap dan berkelanjutan. Maka demikianlah seharusnya dakwah Islam diserukan. Sifat tergesa-gesa (Isti’jal) hanya akan menuai kegagalan dalam berdakwah, dan bahkan menimbulkan penentangan secara frontal dari para obyek dakwah kita. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Komentar