MENJADI FITNAH
Oleh: Ust. Denis A. Pakih Sati, Lc., MH.
Sudah menjadi kebiasaan Muadz bin Jabal untuk shalat bersama Nabi Muhammad Saw, kemudian ia kembali ke kaumnya untuk mengimami mereka. Suatu hari, ia mengimami kaumnya dengan membaca surat al-Baqarah. Kebetulan Haram bin Milham; salah seorang sahabat Nabi shalat bersamanya. Rencananya, setelah shalat, ia akan lansung ke kebunnya untuk menggarapnya dan menyiraminya.
Bacaan Muadz bin Jabal sangatlah panjang. Haram bin Milhan sudah tidak tahan. Akhirnya, ia memutuskan untuk al-Firaq; memisahkan diri dari Jamaah; menyelesaikan shalat sendiri. Ia pun segera ke kebunnya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sudah menunggunya disana.
Selesai shalat, salah seorang Jamaah mengadukan apa yang dilakukan Haram bin Milhan kepada Muadz bin Jabal. “Ia munafik,” komentarnya. Dan komentar ini pun sampai ke telinga Haram bin Milhan. Hatinya sakit. Ia tidak terima. Ucapan Muadz bin Jabal ini disampaikan kepada Nabi Saw, dan beliau pun bereaksi dengan memanggil terlapor. “Apakah Anda membuat fitnah wahai Muadz!” (H.r. Ibn Khuzaimah)
Kemudian Nabi menasehatinya jikalau shalat bersama Jamaah, tidak usah berlama-lama, Sebab, di antara mereka ada yang lemah dan sudah tua, atau ada hajat keperlua mendesak. Bacalah semisal Surat al-‘Ala atau al-Syams, atau lainnya.
Tidak ada seorang pun yang Ma’shum dari kesalahan. Muadz bin Jabal adalah Ahli Fikihnya para sahabat. Makanya, kita tidak boleh taklid buta kepada siapa pun; Ustadz, Kyai, Tuan Guru, Buya, dan selainnya. Manusia itu pasti ada salahnya. Tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Saw. Tapi adab terhadap tetap harus dijaga.
Orang yang menyampaikan ucapan Muadz bin Jabal: “Ia Munafik” kepada Haram bin Milhan, perlu juga menjadi perhatian. Tidak usah menyampaikan ucapan yang rasanya akan menyakiti pihak lainnya; akan menyebabkan perselisihan di antara kaum Muslim. Jangan menjadi pengadu domba; menjadi “Delegasi Iblis”. Jadilah pendamai, Cukuplah “keburukan” dan “kebatilan” mati di tangan kita. Jangan disebarkan lagi kemana-mana. Jangan suka menyulut api.
Kalau kita menjadi Imam, maka ringankanlah. Pertimbangkan dan lihat-lihat juga orang yang berada di belakang kita. Jikalau kita shalat sendirian, shalatlah sepanjang yang kita mau. Ada yang sudah tua, lemah, berhajat di belakang kita.
Pun sama dengan Khutbah Jumat. Sunnahnya memang tidak panjang-panjang. Jangan sampai menikmati sendiri berpidato, padahal orang sudah mulai gelisah. Singkat, padat, dan jelas. Begitu sunnahnya.