Assalamualaikum Ustadz, Izin saya mau bertanya. Ada seorang bapak sedang sakit stroke dan tumor, dan sudah terbaring di tempat tidur dan tidak bisa melakukan aktifitas sama sekali. Yang selama ini merawatnya adalah anak laki-laki pertama, dan dia sudah memiliki keluarga. Tapi karena ini pertama kalinya merawat orang tua sakit dan ia merasa tidak ada perkembangan ke arah membaik, ia menjadi depresi hingga akhirnya lupa untuk berkomunikasi dengan istrinya karena terlalu fokus merawat bapaknya. Ia juga tidak bekerja untuk menafkahi anak istrinya. Bapak yang sakit tersebut sebenarnya juga mempunyai anak kedua seorang perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahnya, tetapi ia dilarang suaminya untuk merawat bapaknya. Sedangkan anak yang ketiga sedang kuliah dan bekerja di luar negeri. Bagaimana pandangan Islam dalam masalah ini?
Waalaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Rasulullah SAW bersabda:
رَغِمَ أَنْفُهُ ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ،ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ “. قِيلَ : مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا، ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ “
”Sangat merugi, sangat merugi, sangat merugi. (diulang tiga kali). Sahabat bertanya: siapa yang celaka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: orang yang mendapati salah satu orang tuanya atau dua-duanya dalam keadaan tua, kemudian (anak tersebut) tidak masuk surga.” (HR Muslim)
Imam Nawawi dalam al-Minhaj mengatakan hadis ini akan memotivasi seseorang untuk melakukan birrul walidain dan menjelaskan besarnya pahala merawat orang tua. Karena merawat orang tua hingga lanjut usia merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga.
Dalam Hukum Negara, merawat orang tua merupakan kewajiban seorang anak, apalagi jika orangtua sudah lanjut usia dan sakit. Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawianan, pada Pasal 46 :
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Di sisi lain, seorang suami dan ayah juga mempunyai kewajiban merawat dan menafkahi keluarganya. Allah SWT berfirman :
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya,” (QS Al-Baqarah 233).
Dalam Hukum Negara, Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 9 menyebutkan :
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Sedangkan yang dimaksud lingkup rumah tangganya terdapat dalam pasal 2, ayat (1), Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, meliputi :
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Seorang anak wajib merawat kedua orangtuanya saat lanjut usia atau sakit
2. Seorang suami wajib menafkahi isteri dan memperlakukan dengan baik
3. Seorang ayah wajib menafkahi dan mendidik anak
Untuk persoalan yang anda tuliskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Masing-masing pihak wajib memahami kewajibannya dan berusaha sekuat tenaga menunaikan kewajibannya dengan benar dan adil
2. Jika ada individu yang tidak memahami kewajibannya, maka pihak lain wajib untuk mengkondisikan agar personal tersebut memahami dan menjalankan kewajibannya
3. Tidak saling menuntut hak orang lain, karena akan berpotensi terabaikannya kewajiban diri sendiri
4. Tidak hanya berbicara dengan perasaan sendiri “harusnya orang lain tahu tentang kewajibannya”, karena bisa jadi orang lain memang benar-benar tidak tahu tentang kewajibannya
Dijawab oleh: Ust. Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I, MH.