Assalammualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh. Mohon pencerahannya, Ustadz.
Saya seorang kepala rumah tangga berusia 35 tahun dan memiliki istri berumur 40 tahun. Setelah 2 bulan menikah saya tidak bisa bekerja karena tidak bisa berjalan normal. Hasil pengecekan medis selama 2 tahun divonis penyakit “multiple sclerosis” yang menyebabkan saya menjadi “disabilitas”. Saya memiliki istri yang bekerja di salah satu restoran. Usia pernikahan kami sudah 4 tahun dan selama 4 tahun pernikahan saya tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Namun saya dengan segala kekurangan anggota tubuh, saya membantu mengerjakan pekerjaan rumah (mencuci, menyetrika dan bersih-bersih rumah). Saya sering bertengkar dengan istri. Yang menjadi penyebab utama adalah istri lebih memilih memprioritaskan penghasilannya untuk kedua orang tuanya dan anggota keluarganya yang lain yang mana mereka lebih sehat jasmani dari pada saya. Sering kali kami bertengkar karena penyebab utama yang mana berulang kali stiap emosi saya meninggi mengucap kata cerai. Terakhir kali saya bertengkar dengan istri karena handphone istri saya tersandi yang mana sandi tersebut dirahasikan dari saya. Dan kebetulanan ada bapaknya terucap kata “cerai dan saya kembalikan anak bapak” yang mana saya dlm keadaan emosi tinggi hingga menyebabkan terjatuh 3 kali. Mohon pencerahannya ustadz, untuk saya yang mengalami keadaan “disabilitas (tidak bisa berjalan tanpa tongkat kaki 4).
Bagaimana hukum pernikahan saya??
Alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Dalam pasal 117 KHI di jelaskan Bahwa : Talak adalah Ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan
Ada lima syarat talak dianggap sah dalam Islam:
- Orang yang melakukan talak adalah suami sah dalam pernikahan
- Orang yang menjatuhkan talak telah balig atau dewasa
- Orang yang mengucapkan talak tidak linglung, bingung atau sedang tidur
- Istri yang ditalak harus dalam keadaan suci. Salah satu hikmah keharusan talak dijatuhkan saat istri sedang suci adalah agar ia langsung menjalani masa iddah, sehingga masa iddahnya menjadi lebih singkat. Berbeda halnya, jika talak dijatuhkan saat istri sedang haid, meskipun tetap sah, maka masa iddahnya menjadi lebih lama karena dihitung sejak dimulainya masa suci setelah haid. Demikian pula jika istri ditalak dalam masa suci tetapi setelah dicampuri, maka kemungkinan untuk hamil akan terbuka. Jika itu terjadi, maka masa mengandung hingga melahirkan akan menjadi masa iddahnya.
- Memperhatikan redaksi talak dan niatnya. Suami yang melakukan talak mesti mengucapkannya secara jelas atau sharih, dan bisa juga berupa sindiran atau kinayah. Maksud ungkapan jelas di sini, tidak ada makna lain selain makna talak. Sehingga meskipun seseorang tidak memiliki niat untuk menjatuhkan talak dalam hati, jika yang dipergunakan adalah ungkapan sharih maka talaknya jatuh. Contohnya, “Saya talak kamu” atau “Saya ceraikan kamu” dan yang semisal. Sedangkan makna kinayah mungkin bermakna talak, namun bisa juga bermakna lain, dan semua tergantung niat yang diucapkan oleh sang Suami. Jika tidak ada niat, maka talaknya tidak jatuh. Jika dibarengi dengan niat maka jatuh talaknya kepada sang Istri. Contoh ucapan kinayah seperti “Sekarang kamu bebas,” atau “Sekarang kamu lepas,” atau “Pergilah kamu ke keluargamu!”. Perlu dilihat kembali maksud dan niat suami dalam mengucap talak atau bahkan memberikan pesan via WhatsApp.
CATATAN
Negara sudah mengatur Tentang hukum keluarga termasuk di dalamnya tentang perceraian. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) bunyi pasal 39 ayat (1) UUP itu disalin persis bunyinya dalam pasal 115. Perceraian, baik atas kehendak suami atau atas kehendak isteri harus dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama (PA). Tidak ada perceraian di luar sidang PA. Jadi kalau permohonannya ditolak oleh PA, maka suami tidak bisa menjatuhkan talaknya.
Kalaulah terjadi dalam suatu perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri kemudian suami mengucapkan talak terhadap isterinya, misalnya Aku talak engkau, maka menurut fikih, talaknya sudah jatuh, tetapi kalau menurut fikih bernegara di Indonesia, talaknya tidak jatuh. Keseriusan talak di Indonesia, harus diselesaikan lewat Pengadilan Agama.
Dijawab oleh: Ust. Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I, MH