Assalamualaikum Ustadz, Izin saya mau bertanya .Jika saya menjual sebuah barang, dan pembeli kemudian ingin membeli, tetapi uang dari pembeli adalah berasal dari pinjaman bank yang telah dilakukan beberapa Minggu sebelumnya. Apakah hukumnya sah saya sebagai penjual terima uang tersebut?
Terimakasih, Wassalamu’alaikum
Waalikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Suatu transaksi jual-beli tidak akan sah apabila tidak terpenuhi 7 syarat-syarat berikut ini:
1. Saling rela antara kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli
Syarat ini merupakan syarat yang mutlak harus ada dalam transaksi jual beli sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS: An Nisaa ayat 29).
Oleh karena itu, transaksi perdagangan yang terjadi dikarenakan keadaan terpaksa/dipaksa maka transaksi tersebut dianggap batal/tidak sah. Namun apabila dalam suatu keadaan terdesak, misal seseorang terlilit hutang dan dipaksa oleh hakim/qadhi untuk menjual hartanya demi melunasi beban hutangnya, maka akad tersebut sah.
2. Kedua belah pihak pelaku akad adalah orang yang memenuhi syarat melakukan akad
Maksud memenuhi syarat di sini adalah berakal dan sudah baligh. Maka dari itu, akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang gila atau orang dengan gangguang kejiwaan dianggap tidak sah kecuali dengan izin walinya. Namun, ada pengecualian bagi anak di bawah umur, yakni boleh melakukan akad hanya untuk jual beli hal kecil, misal: permen. Syarat ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisaa ayat 5 dan An Nisaa ayat 6.
3. Masing-masing pelaku akad memiliki hak milik atas harta obyek transaksi
Tidak sah menjual obyek yang tidak kita miliki dan tanpa seizin pemiliknya. Bagi barang milik anak yatim, penyandang keterbelakangan mental atau gangguan jiwa, maka wali dari mereka disamakan statusnya sebagai pemilik barang tersebut. Hal ini berdasarkan hadist berikut:
“Jangan engkau jual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
4. Obyek transaksi adalah barang yang tidak dilarang agama
Menjual barang haram termasuk haram hukumnya. Misal menjual miras, daging babi, rokok, dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist berikut:
“Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut.” (HR. Ahmad).
5. Obyek transaksi adalah barang yang dapat diserahterimakan
Transaksi jual beli tidak sah apabila obyek yang diperjualkan tidak dapat diserahterimakan. Misal, jual beli bintang di langit. Hal ini berdasarkan hadist berikut:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang jual beli gharar (penipuan). (HR. Muslim).
6. Obyek transaksi harus jelas dari segi apapun dan diketahui oleh kedua belah pihak
Tidak diperbolehkan terjadi transaksi yang tidak jelas obyeknya. Misal, jual beli mobil tanpa dilihat terlebih dahulu bentuk fisik serta spek mobilnya. Transaksi dengan obyek yang tidak jelas diklasifikasikan ke dalam gharar dan Allah jelas-jelas melarangnya.
Untuk mengetahui obyek transaksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Melihat langsung barang sebelum akad atau pada saat akad.
b. Penjual menjelaskan spesifikasi obyek secara sejelas-jelasnya kepada pembeli tanpa ada yang ditutup-tutupi.
7. Harga obyek harus jelas saat transaksi terjadi
Tidak sah suatu transaksi jual beli apabila penjual tidak menyebutkan secara jelas harga obyek transaksi. Hal ini diklasifikasikan ke dalam gharar.
Adapun alat pembayaran yang berupa uang, pada dasarnya berhukum halal. Ketika uang dari bank itu untuk membeli sesuatu dengan memenuhi syarat dan rukun jual beli, maka jual belinya itu sah. Seorang penjual tidak perlu memaksa pembeli untuk menjelaskan dari mana asal-usul uangnya.
Karena dalam fikih Islam, sesuatu (uang, makanan, minuman, dll) diharamkan karena dua sebab:
- Haram Li Dzatih, yaitu barang tersebut diharamkan Allah pada asalnya. Contohnya: minuman keras, daging babi, bangkai dll.
- Haram Li Kasbih, yaitu barang tersebut menjadi haram karena cara mendapatkannya diharamkan. Contohnya: baju adalah benda halal, tapi kalau didapatkan dengan mencuri maka menjadi haram. Keharamannya hanya berlaku bagi yang melakukan pencurian tersebut. Contoh lain: Uang sebagai alat pembayaran adalah halal, tapi kalau didapatkan dari riba, maka menjadi haram. Keharamannya juga hanya berlaku bagi yang melakukan transaksi riba tersebut. Jika uang tersebut berpindah kepada orang lain dengan transaksi yang halal -misalnya dengan jual beli yang sah-, maka uang tersebut kembali kepada hukum asalanya yaitu halal.
Dengan demikian, jual beli yang anda lakukan sah dan uang yang didapatkan dari jual beli tersebur juga halal.
Wallahu A’lam
Dijawab oleh: Ust. Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I, M.H