SIKAP LEMBUT RASULULLAH TERHADAP KESALAHAN SHAHABATNYA
Oleh: Deden A. Herdiansyah
Tentu kita masih ingat tentang peristiwa Perang Uhud yang mengguncang hati kita semua. Betapa tidak, pada perang itu 70 orang shahabat pilihan gugur sebagai syuhada, dan di antaranya ada paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muththalib, yang jasadnya dikoyak-koyak secara keji oleh Hindun. Pada perang itu pula Rasulullah mengalami luka cukup serius akibat terperosok ke dalam lubang jebakan yang dibuat oleh pasukan Quraisy. Pada saat Rasulullah tidak sadarkan diri di dalam lubang itu, tersiar kabar bahwa Rasulullah telah wafat. Hal itu membuat Umar bin Khaththab terduduk lemas dan meletakkan pedangnya, tanda tak lagi berdaya.
Sebelum keberangkatan kaum Muslimin ke bukit Uhud, sebenarnya Rasulullah telah menyampaikan pendapatnya agar kaum Muslimin menghadapi pasukan Quraisy di dalam kota Madinah. Namun, rupanya sebagian besar shahabat yang ikut dalam musyawarah mengajukan pendapat yang berbeda dengan Rasulullah. Mereka menginginkan pertempuran menghadapi pasukan Quraisy dilakukan di luar kota Madinah. Akhirnya, dengan kebesaran hatinya Rasulullah mengikuti pendapat mayoritas para shahabat, meskipun ada rasa duka di dalam hatinya, karena beliau memiliki firasat buruk dengan pilihan para shahabat itu.
Berangkatlah seribu orang pasukan kaum Muslimin menuju bukit Uhud. Namun, di tengah jalan Abdullah bin Ubay memprovokasi sebagian pasukan untuk kembali ke Madinah. Dia beralasan bahwa sejak awal dia tidak menyetujui strategi perang di luar kota Madinah yang telah disepakati dalam musyawarah. Dengan provokasinya itu dia berhasil membawa pulang tiga ratus pasukan kembali ke Madinah. Hanya tersisa tujuh ratus pasukan kaum Muslimin yang tetap melanjutkan perjalanannya menuju medan pertempuran. Tidak dapat dimungkiri, desersi yang dilakukan sebagian pasukan itu membuat beberapa shahabat merasa terpukul, karena bagaimana pun mereka akan menghadapi pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar, yaitu tiga ribu pasukan Qurasiy. Tetapi demikianlah skenario Allah untuk memisahkan yang murni dengan yang kotor; yang bersungguh-sungguh dengan yang berpura-pura.
Setibanya di bukit Uhud Rasulullah langsung mengatur strategi dan posisi pasukannya. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di atas sebuah bukit, dan menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pemimpin pasukan itu. Tugas mereka adalah melindungi pasukan kaum Muslimin agar tidak mendapatkan serangan dari arah belakang. Instruksi Rasulullah untuk mereka sangat jelas, “Lindungi kami dari pasukan berkuda orang-orang Quraisy dengan anak panah kalian”, kata Rasulullah dengan tegas. “Mereka tidak akan datang ke tempat kita dari belakang kita. Baik kita menang atau kalah, hendaklah engkau tetap di posisimu. Jangan sekalik-kali kita didatangi dari arah belakang.”[1]
Namun, ketika melihat pasukan kaum Muslimin yang berada di bawah bukit berhasil mendesak mundur pasukan musuh dan mulai mengumpulkan harta ghanimah, pasukan pemanah itu seakan-akan lupa dengan instruksi Rasulullah. Mereka menganggap pertempuran telah usai, selain juga tergiur untuk ikut mengumpulkan harta rampasan perang. Sebagian besar pasukan pemanah segera menuruni bukit. Teriakan pemimpin pasukan pemanah, Abdullah bin Jubair, untuk mencegah mereka turun tidak mereka hiraukan. Hingga hanya tinggal beberapa orang saja dari pasukan pemanah itu yang masih bertahan di atas bukit.
Khalid bin Walid yang saat itu memimpin pasukan sayap kanan Quraisy memanfaatkan situasi itu untuk menyerang pasukan kaum Muslimin dari arah belakang.[2] Pertahanan bagian belakang kaum Muslimin dalam keadaan lengah karena mereka menyangka pasukan pemanah masih melindungi mereka dari atas bukit. Ketika pasukan Khalid bin Walid datang menyeruak dari arah belakang, pasukan kaum Muslimin kaget bukan kepalang; barisan kocar-kacir, semua orang menyelamatkan diri masing-masing, bahkan dalam waktu sesaat mereka melupakan keselamatan Rasulullah dan meninggalkannya sendirian. Satu demi per satu para shahabat berguguran sebagai syuhada.
Berdasarkan fakta tersebut, sudah sangat jelas siapa yang paling bertanggung jawab atas kekalahan kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Pasukan pemanah yang Rasulullah tempatkan di atas bukit telah lalai dalam melaksanakan tugasnya. Mereka bahkan telah melakukan kesalahan besar, karena mengabaikan instruksi Rasulullah yang menyebabkan kekalahan bagi pasukan kaum Muslimin.
Lalu bagaimana sikap Rasulullah terhadap pasukan pemanah itu? Apakah Rasulullah menghardik atau menghukum mereka? Pernahkah kita dapati kitab-kitab sirah nabawiyah menceritakan kemarahan Rasulullah setelah terjadinya kekalahan pada Perang Uhud? Pasti kita tidak akan pernah mendapatinya, karena justru sikap Rasulullah berkebalikan dengan semua sikap itu. Sebagaimana yang Allah terangkan dalam surah Ali ’Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakal. (Q.s. Ali ’Imran: 159).
Ayat ini Allah wahyukan sesaat sebelum Rasulullah berkumpul kembali dengan para shahabat seusai Perang Uhud. Ayat itu menerangkan bahwa Rasulullah memilih untuk bersikap lemah lembut terhadap para shahabat yang telah membersamainya dalam Perang Uhud alih-alih memarahi mereka. Meskipun ada berbagai kesalahan yang dilakukan para shahabat di perang tersebut, Rasulullah tetap menunjukkan kelembutannya.
Mari kita fokus pada kata “linta” dalam ayat itu yang maknanya “kamu (Muhammad) bersikap lemah lembut”. Kata tersebut berasal dari kata “lana yalinu lin” yang berlawanan dengan kata “khasyina yakhsyunu khushunah”; keras dan kasar. Makna keras dan kasar dalam kata khushunah itu meliputi berbagai sikap manusia baik dalam hal penampilan, perkataan, tindakan, gerak-gerik, sampai sikap diam.[3] Sehingga, kata “linta” itu bermakna bersikap lemah lembut dalam semua sikap manusia, termasuk dalam diamnya. Dari makna ini kita dapat memahami bahwa sikap lemah lembut Rasulullah di hadapan para shahabat yang telah melakukan kesalahan itu tampak dalam semua sikapnya, baik dalam ekspresi wajah, perkataan, gerak-gerik, bahkan diamnya.
Bukankah kita sering mendapati orang yang mengekspresikan kemarahannya dengan diam? Misalnya, seorang suami mendiamkan istrinya karena marah kepadanya. Jadi, diam juga bisa menjadi ekspresi kemarahan. Namun, sikap diam ini menjadi ekspresi yang lebih samar dibandingkan dengan kemarahan yang diekpresikan melalui perkataan atau tindakan. Betapa lembutnya sikap Rasulullah terhadap para shahabat yang bersalah itu, sampai tidak ada sikap kerasnya yang tampak, bahkan dalam sikap yang tersamar sekalipun.
Jika digali lebih lanjut, kata “lana yalinu” itu memiliki akar yang sama dengan kata “talayyana” yang biasanya digunakan untuk menggambarkan pujian seseorang untuk membuat orang lain senang. Ketika seseorang memuji orang lain dengan menyebut-nyebut berbagai kebaikannya, itu disebut “talayyana.”[4] Dengan demikian kata “linta” dalam surah Ali ’Imran ayat 159 di atas masih memiliki hubungan dengan sikap “talayyana” ini. Artinya, Rasulullah selain tidak bersikap kasar dan keras kepada para shahabat yang bersalah, juga tidak melupakan kebaikan-kebaikan mereka.
Bagaimanapun para shahabat yang bersalah itu bisa jadi telah membersamai perjuangan Rasulullah dalam waktu yang lama, ikut merasakan kesulitan-kesulitan bersama dan berkorban dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Satu kesalahan mereka—meskipun fatal—tentu tidak dapat menghancurkan kebaikan-kebaikan mereka sebelumnya. Oleh sebab itu Rasulullah berbicara kepada mereka dengan perkataan yang baik. Tidak menghujat dan mencaci maki mereka dengan penuh kemarahan.
Bisa kita bayangkan, para shahabat yang bersalah itu dalam keadaan tertekan jiwanya akibat kesalahan mereka. Mereka sadar atas kesalahan mereka. Mereka mengalami penyesalan yang sangat mendalam. Terganggu hati dan pikiran mereka, karena mereka merasa menjadi penyebab terbunuhnya tujuh puluh shahabat yang mereka sayangi. Bagaimana jadinya jika dalam keadaan demikian mereka mendapatkan kemarahan, teguran dan hukuman dari Rasulullah? Pastilah mereka akan terguncang lebih hebat lagi. Beruntungnya, Rasulullah memahami jiwa mereka. Rasulullah tidak menambah beban jiwa mereka dengan kemarahannya.
Tidak cukup sampai di situ. Kata lana yalinu juga memiliki akar yang sama dengan kata layan yang bermakna mendengarkan seseorang tanpa menghakimi.[5] Betapa indahnya sikap ini, apalagi jika dilakukan oleh seseorang yang sedang menghadapi kesalahan orang lain. Bukankah ketika seseorang marah terhadap kesalahan orang lain pada umumnya tidak mau mendengarkan penjelasan orang yang bersalah kepadanya? Apalagi orang yang sudah dikuasai oleh amarahnya, perkataan dan penjelasan apa pun yang disampaikan orang yang bersalah akan dianggap sebagai omong kosong.
Namun, Rasulullah tidak bersikap demikian terhadap para shahabat yang bersalah pada Perang Uhud. Beliau mendengarkan permintaan maaf mereka, mendengarkan penjelasan mereka, dan mendengarkan penyesalan mereka. Rasulullah tidak mengucilkan dan mendiamkan mereka. Bahkan Rasulullah mengajak mereka untuk kembali bermusyawarah dan mendengarkan perkataan mereka. Allah memerintahkan Rasulullah untuk bersikap demikian melalui firman-Nya, “wa syawirhum fil amri” (Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu).
Betapa menakjubkannya sikap lemah lembut Rasulullah itu. Bergetar hati kita. Merasa kerdil kita di hadapan kelembutannya. Pada momentum Maulid Nabi ini kita teringat kembali dengan besarnya kasih sayang Rasulullah pada umat ini. Pada saat yang sama kita merasa ringkih karena belum bisa membalas kasih sayang itu dengan sepantasnya. Ya Allah, kami kirimkan kerinduan kami kepada Rasul-Mu melalui shalawat yang terlantun untuknya. Allahumma shalli ’ala sayyidina Muhammad, wa ’ala alihi wa ashhabihi ajma’in.
[1] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam (Bekasi: PT Darul Falah, 2013), Vol. 2., hlm. 28.
[2] Muhammad Al-Khudhari Bek, Nurul Yaqin fi Sirati Sayyidil Mursalin (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), hlm. 176.
[3] Nouman Ali Khan, Revive Your Heart (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), hlm. 59.
[4] Ibid., hlm. 60.
[5] Ibid.