Assalamualaikum Ustadz, Izin saya mau bertanya. Dua tahun belakangan ini saya ingin meningkatkan dan memperbaiki ke-Islaman saya dengan mendalami pengetahuan agama. Karena selama ini saya merasa kesulitan baik dalam hal pekerjaan, keluarga maupun pendidikan. Namun ketika saya berusaha mendekat pada Allah, saya selalu mendapat jalan keluar atas masalah saya. Beberapa bulan kemarin saya menganggur karena PHK dari perusahaan disaat saya berniat untuk menikah. Saya sempat merasa hancur dan menjauh dari ibadah, namun setelah saya coba untuk meperbaiki ibadah saya kembali, Allah tunjukkan jalan untuk saya mendapat pekerjaan kembali di usia saya yang mungkin sudah tidak ada perusahaan yang mau merekrut. Tetapi dari pekerjaan yang saya dapat ini, malah membuat saya jadi tidak berpuasa. Padahal saya mendekati Allah dan ingin meningkatkan ibadah saya, karena saya ingin Allah memudahkan segala urusan saya. Namun setelah saya mendapatkan apa yang Allah kasih, saya malah tidak bisa mematuhi perintah Allah, yaitu puasa ramadhan di tahun ini. Apakah saya harus meninggalkan pekerjaan saya agar tetap bisa menjalankan ibadah puasa saya dengan khusuk atau tetap bertahan? Sedangkan saya pernah mendengar jika seorang hamba meninggalkan sesuatu karena Allah dengan niat ibadah dan menaati perintah Allah, maka allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Jadi saya harus bagaimana? Mohon sarannya. Terima kasih
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Melaksanakan kewajiban yang merupakan rukun Islam tentu harus diprioritaskan dari apapun. Karena konsekuensi meninggalkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah sangat besar di akhirat, termasuk di dalamnya meninggalkan puasa tanpa udzur syar’i. Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan harus bertaubat kepada Allah karena telah melakukan dosa besar, dan kemudian mengganti hari-hari yang ia tidak berpuasa dengan berpuasa di bulan lain, sebelum Ramadhan berikutnya menjelang.
Sedangkan mengenai pertanyaan yang anda tanyakan, maka perlu dilihat dan dipikirkan secara cermat dan mendalam apa yang menjadi kendala beribadah? Apakah memang faktor pekerjaan? Kalau memang karena faktor pekerjaan, ibadah apa yang terkendala? Apakah ibadah wajib atau sunah? Jika yang terkendala ibadah wajib, sejauhmana kendalanya? Apakah benar tidak memungkinkan untuk berpuasa jika tetap dengan pekerjaan tersebut? Apakah karena beratnya pekerjaan? Karena jika memang jenis pekerjaan itu terlalu berat dan tidak memungkinkan untuk berpuasa, misalnya pekerjaan yang memerlukan energi yang besar dan dilakukan di bawah terik matahari, seperti: tukang batu, pengayuh becak dll para ulama membolehkan untuk tidak berpuasa.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam buku al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ الآجِرِي: مَنْ صَنَعَتْهُ شَـاقَـةٌ : فَـإِنْ خَافَ بِالصَّوْمِ تَلَفاً ، أَفطَرَ وَقَضَى إِنْ ضَرَّهُ تَرْكُ الصَنْعَةِ ، فَإِنْ لَمْ يَضُرُّهُ تَرْكُهَـا ، أَثِمَ بِالفِطْرِ ، وَإِنْ لَمْ يَنْتَفِ التَّضَرُّرُ بِتَرْكِهَا ، فَلاَإِثْمَ عَلَيْهِ بِـالفِطْرِ لِلْعُـذْرِ . وَقَرَّرَ جُمْهُورُ الفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى صَاحِبِ العَمَلِ الشَّاقِّ كَالحَصَّادِ والخَبَّازِ وَالحَدَّادِ وعُمَّالِ المنَاجِمِ أَنْ يَتَسَحَّرَ وَيَنْوِيَ الصَّوْمَ ، فَإِنْ حَصَلَ لَهُ عَطَشٌ شَدِيْدٌ أَوْ جُوْعٌ شَدِيْدٌ يَخَافُ مِنْـهُ الضَّرَرُ ، جَازَ لَهُ الفِطْرُ ، وَعَلَيْهِ القَضَـاءُ ، فَـإِنْ تَحَقَّقَ الضَّرَرُ وَجَبَ الفِطْرُ
“Abu Bakar al-Ajurri berpendapat seorang pekerja berat bila dia amat khawatir akan keselamatan nyawanya, boleh berbuka, jika meninggalkan pekerjaannya akan menimbulkan kemudharatan. Apabila pekerjaan tersebut masih bisa ditinggalkan dan tidak menyebabkan kemudharatan jika meninggalkannya, maka ia berdosa jika membatalkan puasa. Apabila setelah meninggalkan pekerjaan tersebut dampak buruknya masih terasa, maka ia boleh membatalkan puasanya karena uzur. Kebanyakan ahli fikih menetapkan kewajiban sahur dan berniat puasa di malam hari bagi para petani, pandai besi, pembuat roti, pekerja tambang, dan para pekerja berat lainnya. Jika memang di tengah pekerjaan dia merasakan sangat haus dan lapar, kemudian dia khawatir hal ini berdampak buruk bagi dirinya, boleh baginya membatalkan puasa kemudian nanti mengganti puasanya di lain hari. Bahkan, jika dampak buruk ini benar-benar sangat terasa dan memprihatinkan, wajib baginya membatalkan puasa.” (Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, 2/648)
Dari kutipan diatas dapat dipahami, pekerja berat harus tetap sahur dan berniat puasa. Namun, jika puasa tersebut terasa berat untuk dilanjutkan, dan pekerjaan tersebut benar-benar tidak bisa ditinggalkan, boleh baginya membatalkan puasa, dan tidak ada dosa baginya. Ia harus menggantinya dengan berpuasa di luar bulan Ramadhan. Namun jika ia melakukan pekerjaan yang sama sepanjang tahun, maka puasa yang ditinggalkan bisa diganti dengan membayar fidyah, karena tidak memungkinkan untuk mengganti puasa di luar Ramadhan.
Kesimpulan: perlu ditimbang dan dipikirkan secara mendalam mengapa tidak bisa puasa Ramadhan, dan apakah jika keluar dari pekerjaan tersebut akan mendapatkan pekerjaan lain yang memungkinkan untuk puasa dan detail-detail yang lain yang mempengaruhi timbulnya permasalahan ini, sehingga bisa diambil solusi terbaik.
Dan yang paling penting dari itu semua, semakin mendekatlah kepada Allah dan curahkan kegelisahan dan permasalahan yang dihadapi agar diberikan jalan keluar yang terbaik. Jika perlu, lakukan shalat istikharah dan ulangi beberapa kali hingga mendapatkan kemantapan dalam mengambil keputusan.
Wallahu A’lam
Dijawab oleh: Prof. Dr. Tulus Musthofa, MA.