IkadiDIY.com

ISLAMISASI DI BUMI NUSANTARA (BAGIAN 2)

ISLAMISASI DI BUMI NUSANTARA (BAGIAN 2)

Oleh: Deden A. Herdiansyah

 

Ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari teori-teori yang telah dikemukakan para ahli. Pertama, aktivitas perdagangan maritim dan para pedagang Muslim telah memegang peranan yang sangat penting dalam proses kedatangan Islam di Nusantara. Sebagian besar ahli menyatakan bahwa para pedagang Muslim berperan secara langsung dalam upaya penyebaran Islam di Nusantara. Sedangkan, teori yang menyatakan bahwa penyebar Islam di Nusantara adalah para ulama atau kaum sufi juga tidak dapat memungkiri peran aktivitas perdagangan dan para pedagang Muslim dalam melancarkan upaya para ulama itu. Mereka menyatakan bahwa para ulama penyebar Islam bekerja sama dengan para pedagang untuk mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dituju.

Dalam ajaran Islam setiap Muslim berhak—bahkan diwajibkan—untuk menyampaikan dakwah, apapun profesi dan statusnya, termasuk di dalamnya para pedagang. Hal ini berbeda dengan ajaran agama lain yang membatasi aktivitas dakwah dan aktivitas keagamaan lainnya hanya bagi para pemuka agama. Dalam ajaran Hindu misalnya, hanya kasta Brahmana yang berhak dan diperbolehkan untuk mensyiarkan ajaran agamanya; selain kasta tersebut tidak berhak atas itu. Sedangkan agama Budha hadir sebagai agama elite aristokratik. Meskipun agamanya dipeluk juga oleh masyarakat luas, tetapi budaya tulis dan tradisi intelektualnya tidak meluas ke luar istana dan vihara. Sebaliknya, Islam hadir sebagai agama yang egaliter dan populis. Islam tidak mengenal kasta dan kependetaan, sehingga memungkinkan keterlibatan semua penganutnya dalam berbagai ritual, ibadah dan aktivitas lainnya.[1] Faktor inilah yang memungkinkan munculnya anggapan bahwa para pedagang Muslim sekaligus berperan sebagai pendakwah di Nusantara. Sebagaimana yang telah dituliskan oleh J.C. Van Leur:

 

Islam tidak memiliki konsep mengenai kharisma magis seorang pendeta seperti yang ada dalam Kristen Katolik namun tetap menjadi komunitas misionaris dalam pengertian Kristen awal. Karena hakikat ekspansif dari dakwah Islam, maka setiap Muslim bertugas sebagai mubalig. Itulah mengapa para pedagang dari dunia Islam merupakan figur yang paling misioner di wilayah-wilayah asing. Itulah mengapa dalam kaitannya dengan ini agama mengikuti jalur perdagangan.[2]

 

Kedua, sejak ditemukannya jalur perdagangan laut Nusantara telah menjadi wilayah kosmopolitan yang didatangi banyak bangsa dari timur maupun barat. Terutama di wilayah pesisir utara, masyarakat Nusantara telah banyak berinteraksi dengan ragam bangsa, budaya, dan bahasa. Tentu dalam proses interaksi yang demikian terjadi saling mempengaruhi dan saling bertukar budaya. Karenanya Nusantara menjadi wilayah yang sangat kaya budayanya.

 

Terkait dengan hal ini, penulis bersepakat sepenuhnya dengan apa yang telah diungkapkan oleh Denys Lombard. Setelah memberikan penjelasan yang sangat apik dan runtut mengenai jaringan perdagangan kuno, dia memberikan penekanan pada kosmopolitisme di Nusantara yang menurutnya bersifat sikretis, terbuka pada segala kebudayaan dan menerima baik ideologi-ideologi universalis. Kutipan langsung di bawah ini akan memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang pandangannya itu:

 

Di sini perlu ditekankan pengertian kosmopolitisme, daripada keetnisan. Cakrawala perniagaan sudah tentu berkotak-kotak: Cina, India, negeri-negeri Arab, dan Afrika Hitam. Tetapi, para pedagang sendiri yang kebanyakan lahir dari perkawinan campur, serta sudah tentu menguasai berbagai bahasa, merupakan lingkungan sosial yang beraneka ragam dan sinkretis, terbuka pada segala kebudayaan dan menerima baik ideologi-ideologi universalis. Dari sudut itulah seharusnya dilihat kedua agama besar yang dibawa oleh para pedagang ke Asia Tenggara, yaitu Buddhisme, lalu Islam.[3]

 

Ketiga, di dalam banyak catatan sejarah disebutkan bahwa para pedagang Arab Muslim telah sampai di wilayah Nusantara sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriyah. Namun, Islam mulai mengalami perkembangan pesat pada abad ke-13 saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri. Realitas ini menjelaskan bahwa penyebaran Islam secara kultural seringkali berjalan dengan lambat. Sedangkan Islam yang telah melembaga dan disebarkan melalui jalur-jalur struktural serta ditambah dengan adanya dukungan kekuasaan cenderung berkembang lebih cepat.

 

Dalam konteks masuknya Islam di Nusantara sangat mungkin para pedagang Arab Islam yang tiba di wilayah Sumatera pada abad ke-7 telah menjalankan aktivitas dakwahnya sejak awal. Hanya saja proses islamisasi tersebut berjalan sangat lambat disebabkan ketiadaan daya dukung kekuasaan. Berbeda halnya ketika Islam telah berhasil memasuki wilayah kekuasaan; para penguasa atau raja yang memeluk agama Islam membawa pengaruh yang sangat besar terhadap konversi massal masyarakatnya ke dalam Islam.

 

Keempat, proses islamisasi di Nusantara berjalan secara evolusi melalui hubungan sosial dan budaya. Berbeda dengan islamisasi di wilayah-wilayah lain yang pada umumnya dilakukan melalui jalan penaklukan militer. Model islamisasi yang berjalan lambat dan melalui interaksi sosial tentu menghajatkan keterlibatan beragam sarana dan banyak aktor. Jadi, dengan menentukan salah satu saja di antara sarana dan aktor islamisasi itu menjadi upaya simplifikasi yang justru memperumit persoalan.

 

Banyaknya teori mengenai kedatangan Islam di Nusantara bukan untuk dipertentangkan satu sama lain, tetapi justru untuk saling melengkapi dan memperkaya fakta-fakta sejarah. Sehingga kesimpulannya adalah ada banyak sarana dan aktor yang berperan dalam proses islamisasi di Nusantara, sebagaimana yang telah dipaparkan di dalam teori-teori dari para ahli. Para pembawa Islam itu ada yang datang dari Arab, Persia, India, dan mungkin juga dari Tiongkok. Bisa jadi mereka merupakan pedagang, mubaligh, pengajar agama, dan sufi. Sedangkan sarana yang digunakan juga beragam, meliputi perdagangan, perkawinan, birokrasi, pendidikan (pesantren), sufisme, seni, dan lain sebagainya.[4]

 

Peran aktivitas perdagangan dalam penyebaran Islam telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sedangkan tentang sarana perkawinan dalam proses penyebaran Islam yang dapat dijadikan sebagai contoh, di antaranya adalah perkawinan antara putri Campa—yang seorang Muslimah—dengan Raja Majapahit, Brawijaya. Selain itu, Maulana Ishak menikahi putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri, Raden Rahmat atau Sunan Ampel menikah dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung Wilwatikta, Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Kawung Anten, dan Syekh Ngabdurrahman menikah dengan Putri Raden Ayu Teja.[5] Semua perkawinan itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap proses penyebaran Islam di Pulau Jawa.

 

Demikian pula di wilayah Sumatera, banyak para penguasa beralih menjadi Muslim karena perkawinan. Sebagai contoh adalah perkawinan antara putri Raja Pasai yang seorang Muslimah dengan Raja kedua Malaka, Muhammad Iskandar Syah. Menurut Tome Pires, Muhammad Iskandar Syah, bahkan tidak sekadar beralih menjadi Muslim, tetapi juga membuat seluruh rakyatnya melakukan hal yang sama dengannya.

 

Peran pendidikan juga tidak kalah besarnya dalam proses islamisasi di Nusantara. Para mubaligh atau pengajar agama yang datang ke Nusantara dengan menumpang kapal dagang sangat aktif untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Mereka seringkali diberi gelar mullah, syekh, makhdum, atau gelar setempat, seperti kiai, sunan, khatib, dato, wali dan lain-lain. Keberadaan mereka tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Di Jawa mereka dikenal sebagai Wali Sanga. Di Makasar dan Bugis juga dikenal tiga mubaligh yang menyebarkan Islam di kedua wilayah tersebut; mereka bernama Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Pattimang dan Dato’ ri Tiro.

 

 

 

[1] Abdul Hadi W.M., Islam di Indonesia dan Transformasi Budaya dalam Menjadi Indonesia; 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (ed). Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 449.

[2] J.C. van Leur, Perdagangan & Masyarakat Indonesia; Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hlm. 169.

[3] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 28.

[4] Lihat Uka Tjandrasasmita, Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 21-36.

[5] Ibid., hlm. 23.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *